Peningkatan mutu pendidikan merupakan tugas yang sangat
kompleks, karena mutu pendidikan dapat dijabarkan dalam berbagai segi.
Berdasarkan teori analisis sistem, berhasil tidaknya meningkatkan mutu
pendidikan, banyak dipengaruhi oleh masukan pendidikan seperti; siswa, sarana
dan prasarana pendidikan seperti; gedung, buku teks, alat peraga dan media,
kualitas mengajar guru dan pengelola pendidikan atau kepala sekolah, kualitas
belajar mengajar, sistem ujian, dan pembiayaan, serta kemampuan pemerintah
dalam hal ini adalah Departemen Pendidikan Nasional untuk menangani berbagai faktor
penghambat yang terdapat di lingkungan pendidikan. Namun, tanpa mengabaikan
peran dari faktor penting lainnya dan berdasarkan pada berbagai studi
penelitian telah ditemukan bahwa
kualitas guru merupakan faktor yang paling dominan dalam menentukan mutu
pendidikan. Kualitas guru yang dimaksud adalah tenaga pengajar yang mampu
melahirkan lulusan yang bermutu dan
sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan berbagai jalur,
jenis dan jenjang pendidikan.[1]
Peran kualitas
guru yang dominan dalam menentukan mutu pendidikan, maka pada hakekatnya
rendahnya mutu pendidikan nasional tidak terlepas dari rendahnya mutu proses belajar-mengajar
yang berlangsung di dalam kelas. Apabila interaksi antara guru dan siswa dapat
terjalin dalam suatu kegiatan proses belajar mengajar yang berkualitas, maka
dapat diharapkan bahwa hasil pendidikan dengan sendirinya akan berkualitas.
Oleh karena itu, harus ada upaya sistematik untuk meningkatkan kualitas dari
segi siswa, guru dan perangkat pendukung lainnya. Dari segi guru rendahnya mutu
pendidikan berkaitan dengan rendahnya kompetensi professional yang berarti
menyangkut kemampuan atau kinerja guru.
Pada dasarnya
sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya menjadi tuntutan untuk meningkatkan
mutu kemampuan professional guru sebagai tenaga pendidik, pengajar, dan pelatih
yakni keahlian, kemahiran dan keterampilan.[2]
Kemampuan professioanal guru ini menjadi sangat penting manakala membahas
kinerja guru, karena tinggi rendahnya kinerja guru sangat tergantung kepada
kemampuan professional yang dimiliki guru. Apabila kemampuan professional guru
tinggi, maka kinerja guru pun menjadi tinggi. Sebaliknya apabila kemampuan professional
guru rendah, maka kinerjanya pun
menjadi rendah. Oleh karena itu, peningkatan professional guru merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari upaya meningkatkan kinerja guru.
Keluwesan gerak,
ritme dan urutan kerja yang sesuai dengan prosedur sehingga diperoleh hasil
yang memenuhi syarat kualitas merupakan bentuk kinerja guru yang akan
meningkatkan hasil belajar siswa di sekolah.
Produktivitas
suatu lembaga pendidikan amat ditentukan oleh dorongan dasar, pengetahuan dan
keterampilan para tenaga kependidikan di sekolah tersebut yang pada gilirannya
akan menentukan tingkat prestasi dan kegairahan kerja mereka.[3]
Hal ini mengindikasikan bahwa menjadi sangat penting untuk selalu meningkatkan dorongan
dasar, pengetahuan dan keterampilan para tenaga kependidikan di sekolah untuk
mencapai prestasi dan kegairahan kerja yang tinggi, yang pada gilirannya akan
meningkatkan produktivitas lembaga pendidikan.
Banyak
faktor yang mempengaruhi kualitas pembelajaran. Sesuai dengan konsep pembelajaran
yang berakar pada pihak guru, kualitas pembelajaran dapat dipengaruhi oleh faktor
yang berasal dari dalam diri guru (faktor
intern), maupun yang berasal dari luar guru.[4]
Faktor yang perlu diungkapkan dari dalam diri guru antara lain adalah : (a)
bagaimana persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah dengan hasil
belajar
siswa (b) bagaimana hubungan tentang kinerja guru
terhadap hasil belajar siswa (c) bagaimana hubungan antara persepsi guru
tentang kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja guru terhadap hasil belajar
siswa.
Mutu pendidikan
dapat dilakukan dengan menganalisis efektivitas penyelenggaraan pendidikan
dalam berbagai jenjang. Mulai dari efektivitas sekolah, efektivitas kelas
sampai efektivitas guru. Ketiga jenjang ini saling terkait dan mempunyai
hubungan saling mempengaruhi. Efektivitas penyelenggaraan kegiatan pendidikan
akan tergantung pada penyelenggaraan pembelajaran di kelas, dan efektivitas
guru dalam melakukan pembelajaran. Guru yang efektif juga terkait dengan
penggunaan sumber dan alat yang efektif yang dapat mendorong pada perbaikan
pembelajaran. Hal ini juga tidak terlepas dari efektivitas keterlibatan siswa
dalam pembelajaran. Kerangka berpikir teoritik ini digunakan untuk melihat mutu,
karena mutu merupakan interaksi antara unsur-unsur tersebut.
Mutu pendidikan
dapat diukur dari kemampuan pengelola dan pelaksanaan pendidikan di sekolah di
dalam mendayagunakan semaksimal mungkin,
faktor-faktor sekolah dan faktor luar sekolah yang sesuai, sehingga prestasi
belajar siswa maksimal. Pada tingkat sekolah ada beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian. Pertama perilaku guru dalam melaksanakan pembelajaran dan hubungan
antara unsur-unsur yang ada dalam sekolah, kualitas yang mencakup kesesuaian
antara materi dan pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran. Kedua
aspek-aspek organisasi yang mencakup : (1)
Budaya dan iklim sekolah yang mendorong efektivitas penyelenggaraan
kegiatan pendidikan. (2) Kebijakan tentang koordinasi dan peningkatan kemampuan
professional guru. Ketiga kondisi-kondisi yang diperlukan untuk membuka
kesempatan belajar yang dalam hal ini mencakup : (1) rencana sekolah yang
mengembangkan materi pelajaran. (2) komitmen terhadap visi misi sekolah. (3)
Kesepakatan tentang implementasi kurikulum. Selain itu, mutu pendidikan suatu
sekolah mempunyai hubungan dengan suprastruktur, seperti kepemimpinan kepala
sekolah dan kemampuan personalnya dalam mewujudkan visi misi pendidikan pada
lembaga tersebut.
Efektivitas
pendidikan sekolah sebagian besar tergantung dari perkembangan hubungan baru
antara guru dan muridnya, yang menjadi partner yang semakin aktif di dalam
proses pendidikan, antara guru dan orang tua murid dan orang lain di dalam
masyarakat yang bersangkutan di dalam proses pendidikan.[5]
Dengan demikian penataan kembali fungsi
dan peranan guru, buku pelajaran, kurikulum sekolah, dan sumber-sumber
lingkungan sekolah adalah inti dari segala upaya untuk meningkatkan mutu
pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas, maka pada dasarnya bahwa
peningkatan mutu pendidikan yang menggambarkan hasil akan senantiasa berkaitan
dengan masalah produktivitas, efesiensi dan efektivitas. Ketiga hal tersebut
akan dapat dicapai secara optimal bila didukung oleh prestasi kerja atau
kinerja yang baik. Oleh karena itu, menelaah masalah kinerja guru merupakan
upaya untuk melihat kualitas suatu pendidikan dalam kegiatan pembelajaran yang
dilakukan oleh guru.
1. Hasil Belajar Siswa
Hasil belajar siswa identik dengan penilaian atau
evaluasi dalam proses belajar-mengajar di sekolah, penilaian atau evaluasi
adalah penentuan sampai berapa jauh sesuatu berharga, bermutu atau bernilai.[6]
Proses inilah yang dikenal dengan penilaian atau
pemberian nilai. Proses pemberian nilai tergantung pada jumlah skor yang akan
diperoleh pada tes, dengan menggunakan beberapa acuan yang ditetapkan, skor
yang diperoleh siswa selanjutnya akan berubah menjadi suatu nilai yang dapat
dijadikan acuan dalam keputusan, apakah siswa tersebut telah berhasil dalam
mencapai kompetensi dasar yang ditetapkan atau tidak berhasil dalam pencapaian
kompetensi dasar. Tahapan-tahapan dalam sistem penilaian seyogyanya harus
dilalui agar dapat terhindar dari berbagai pengaruh dari hasil seperti, hallo effect berupa kerapihan pekerjaan,
gaya bahasa dan sopan santun misalnya, sehingga diharapkan pemberian ini dapat
lebih obyektif.
Seorang guru berusaha sekuat tenaga dan pikiran
mempersiapkan program pengajarannya dengan baik dan sistematika.[7]
Dalam kurikulum berbasis kompetensi, prestasi siswa
ditentukan oleh perbandingan antara pencapaian sebelum dan sesudah pembelajaran
serta kriteria penguasaan kompetensi yang ditentukan. Oleh karena itu, dalam
penilaian berbasis kelas lebih tepat apabila menggunakan penilaian acuan
patokan.
Dalam penilaian acuan patokan ditetapkan berdasarkan
tingkat penguasaan minimum. Siswa yang telah melampaui kriteria dapat dinyatakan lulus atau memenuhi
syarat. Dalam hal ini patokan ditetapkan
sejak proses pembelajaran tersebut direncanakan, dengan kata lain penguasaan
kompetensi harus ditetapkan kriterianya, oleh karena itu penilaian acuan
patokan pada umumnya digunakan untuk
menguji tingkat penguasaan, maka biasanya sejak awal standar penampilan untuk
suatu pencapaian kompetensi diberikan secara spesifik. Kompetensi yang diukur
itu dapat saja dalam penampilan atau presentasi jawaban yang benar. Walaupun
penerapan kompetensi standar tersebut tidak mutlak sifatnya, namun ukuran
tersebut merupakan dasar yang penting dalam menentukan keberhasilan pencapaian
kompetensi dasar. Penilaian nilai berdasarkan pedoman penilaian acuan patokan
atau standar mutlak berarti ada patokan tertentu yang ditetapkan untuk
keperluan konversi mentah menjadi skor standar. Penilaian ini berdasarkan
pedoman
penilaian acuan tidak memerlukan statistik, melainkan
hanya tingkat penguasaan kompetensi yang minimum. Penentuan nilai berdasarkan
pedoman penilaian acuan normatif atau standar relatif berarti prestasi belajar
seseorang siswa dibandingkan dengan prestasi siswa lain pada kelas di Sekolah
itu. Seorang siswa yang memperoleh nilai baik sekali pada kelompoknya mungkin
memperoleh nilai lain bila prestasi siswa tersebut dibandingkan pada kelompok
lain.
Penilaian merupakan upaya sistematis yang dikembangkan
oleh institusi pendidikan yang ditujukan untuk menjamin tercapainya kualitas
proses pendidikan serta kulaitas kemampuan peserta didik sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan.[8]
Penilaian pada dasarnya merupakan suatu rangkaian
kegiatan yang tidak boleh terputus, pada tahap perencanaan dan penyusunan
naskah soal test harus dilakukan dengan baik, pada fase skoring harus dilakukan
dengan teliti, dan pada fase penilaian dilakukan dengan teliti berdasarkan
norma yang tepat supaya hasil evaluasi itu memiliki validitas tinggi dan dapat
dipertanggungjawabkan. Pada tahap awal melakukan pengangkatan (skoring) kita perlu pedoman skoring,
perhitungan skoring mentah, norma baku dan pedoman konversi skor mentah menjadi
skor baku. Berdasarkan data yang diperoleh dari konversi skor mentah itulah
guru menilai atau menetapkan nilai yang menunjukkan
tingkat serapan siswa terhadap pelajaran yang telah diikutinya.
Skor yang diperoleh seorang siswa sebaiknya ditetapkan
secara obyektif. Oleh sebab itu, diperlukan kunci jawaban yang salah
berdasarkan pedoman skoring, dan menetapkan angka menggunakan pedoman penilaian
yang disiapkan sebelum tes dilakukan. Kunci jawaban sebaiknya ditetapkan lebih
dahulu yaitu pada pase penulisan soal tes supaya diketahui secara proposional,
asfek kognitif atau kompetensi yang diharapkan dicapai oleh siswa, tingkat
kesukaran soal tes, dan pola jawaban bila guru menggunakan tes obyektif,
apabila tes bentuk uraian yang digunakan, maka guru perlu menetapkan kunci
jawaban dan pedoman penentuan skor mentah secara baik karena dimungkinkan
terdapat jawaban yang bervariasi terhadap suatu pertanyaan.
Evaluasi hasil belajar bertujuan untuk mengetahui
tercapai tidaknya kompetensi dasar yang telah ditetapkan.[9]
Seorang guru perlu memperhatikan bahwa skor siswa tidak dibandingkan dengan
jawaban siswa lain, melainkan skor siswa ditetapkan berdasarkan kunci jawaban
yang telah disiapkan oleh guru sebelum tes atau sebelum lembar jawaban siswa
diperiksa. Sebaiknya dipahami oleh guru bahwa skor mentah adalah angka yang
diperoleh setelah dijumlahkan angka yang diperoleh siswa atas dasar jawabannya
yang betul berdasarkan kunci jawaban.
Sementara itu nilai yang menunjukkan hasil belajar siswa
adalah angka ubahan dari skor mentah sesuai dengan standar pengukuran yang
digunakan dalam penilaian hasil belajar. Sebagai ilustrasi andaikan skor
maksimum yang dikehendaki 40 dari siswa A memperoleh skor 40, berarti siswa
tersebut sudah menguasai 100%. Hal ini bermakna lain bila siswa A memperoleh
skor 40 dari skor maksimum yang dikehendaki 100 karena pada kondisi ini siswa A
dikatakan menguasai 40%. Kedua contoh sederhana ini memberi gambaran bahwa
sebaliknya guru mengubah skor mentah yang diperoleh siswa menjadi skor standar,
apakah standar mutlak penilaian acuan patokan atau standar relatif penilaian
acuan normalitas atau kombinasi antara kedua norma standar itu.
Evaluasi atau penilaian adalah kegiatan pengumpulan data
untuk mengukur sejauh mana tujuan sudah dicapai.[10]
Pengertian evaluasi atau penilaian sangatlah beragam, tetapi kita akan
menggunakan batasan dari berbagai sumber seperti berikut. Secara umum penilaian
dalam konteks pendidikan adalah proses yang digunakan untuk memperoleh
informasi dari test, pengamatan langsung tentang perilaku untuk mengetahui
perkembangan kemajuan siswa terhadap pencapaian tujuan yang telah ditentukan.
Guru adalah orang yang paling penting statusnya di dalam
kegiatan belajar mengajar karena guru memegang peran penting yaitu mengatur dan
mengemudikan bahtera kehidupan kelas. Bagaimana suasana kelas
berlangsung merupakan hasil dari kerja guru. Suasana
kelas dapat hidup, siswa belajar tekun tetapi tidak merasa terkekang, atau
sebaliknya, susunan kelas suram, siswa belajar kurang bersemangat dan diliputi
rasa was-was, takut, itu semua akibat dari hasil pemikiran dan upaya guru,
selain itu guru didlam kelas selalu mengadakan evaluasi program. Guru dalam
melaksanakan evaluasi program dapat orang-orang dari dalam dan dapat pula orang
dari luar.[11]
Masing-masing jenis evaluator mengandung kelemahan diantaranya : 1) Evaluator
dari dalam sangat memahami seluk beluk kegiatan, tetapi ada kemungkinan dapat
dipengaruhi oleh keinginan untuk dapat dikatakan bahwa programnya berhasil.
Dengan kata lain evaluator dalam dapat diganggu oleh unsur subjektivitas. Jika
hal ini terjadi data yang terkumpul kurang benar dan kurang akurat meskipun
barangkali cukup lengkap. 2) Evaluator luar mungkin menjumpai kesulitan dalam
memperoleh data yang tidak lengkap karena ada hal-hal yang disembunyikan oleh
para pelaksana program. Namun karena evaluator tidak berkepentingan akan nama
baik program, maka data yang terkumpul dapat lebih objektif.
Dalam kegiatan belajar mengajar dapat dikatagorikan
sebagai evaluator dalam. Guru adalah pelaksana sehingga mereka mengetahui betul
apa yang terjadi di dalam proses belajar mengajar. Guru berkepentingan atas
kualitas pengajaran. Untuk memperbaiki proses pengajaran yang akan dilaksanakan lain waktu, guru perlu
mengetahui seberapa tinggi tingkat pencapaian dari tugas yang telah dikerjakan
selama kurun waktu tertentu.
2. Persepsi Siswa tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah
Persepsi dapat didefinisikan sebagai proses dengan nama
individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar
memberi makna kepada lingkungan mereka.[12]
Indera manusia berupa pendengaran, penglihatan, sentuhan, pengecapan dan
perasaan adalah sarana yang membentuk persepsi manusia.
Indera tersebut dalam psikologi dikenal dengan organ
sensori (sensory organs) yang memberi
masukan kepada otak tentang berbagai informasi yang berasal dari lingkungan dan
otak menginterpretasikan informasi ini. Menghubungkan dengan apa yang sedang
terjadi dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya.[13]
Pengalaman perseptual sebagai operasi sistem tersebut mentransformasikan data
yang diterima dari lingkungan, menunjukan betapa pentingnya persepsi dalam
kehidupan manusia.
Proses persepsi dimulai dengan adanya rangsangan yang
menembus indera sensori penerima manusia dan selanjutnya alat penerima tersebut
mengirim pesan rangsangan ke otak dan kemudian diolah/ditafsirkan yang hasilnya muncul sebagai
pemahaman.[14]
Proses sensori ini merekam terhadap segala rangsangan yang terdapat di lingkungan
sekitar dimana ia berada dan persepsi menerjemahkan pesan-pesan yang diterima
oleh alat sensori ini dalam bentuk pemahaman.[15]
Pendapat lain mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman
tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menafsirkan
informasi dan menafsirkan pesan.[16]
Sedangkan proses menafsirkan dan menafsirkan pesan tersebut dipengaruhi oleh
dua faktor, yaitu pengaruh internal dan eksternal.[17]
Faktor internal berasal dari dalam sendiri, sedangkan faktor eksternal berasal
dari luar diri.
Teori tersebut di atas, maka dapat ditafsirkan bahwa
persepsi adalah suatu proses pengorganisasian dan penafsiran kesan-kesan indera
atau kognitif yang digunakan untuk memberikan makna/tafsiran untuk memahami
lingkungan sekitar individu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi berada pada
pihak pelaku persepsi (perceiver),
dalam objeknya atau target yang dipersepsikan, atau dalam konteks situasi di mana
resepsi itu dilakukan.[18]
Faktor pada pemersepsi (perceiver)
meliputi sikap, motif, kepentingan pengalaman dan penghargaan. Faktor konteks
situasi meliputi waktu,
keadaan/tempat kerja dan keadaan sosial. Sedangkan faktor
obyek atau target yang dipersepsikan meliputi hal baru, gerakan, bunyi, ukuran,
latar belakang dan kedekatan.[19]
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi juga dapat
dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Indikator yang termasuk
dalam faktor internal adalah dorongan (motivation), pengalaman masa lalu (past experience) dan kecendrungan
sementara. Sedangkan faktor eksternal adalah hubungan figure-ground (figure ground relationship), intensitas
(intenity), kontras (contrast), kontinuitas (continuity), dan pengelompokan (grouping).[20]
Lebih lanjut indikator-indikator tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut ;
a. Pengaruh internal
Pengaruh internal merupakan fungsi proses kognitif
seseorang sehingga mampu memunculkan persepsi. Pengaruh internal ini adalah (1)
persepsi seringkali dipengaruhi oleh dorongan yang dimiliki seseorang.
Kebutuhan atau motif yang tidak terpuaskan merangsang
individu dan mempunyai pengaruh yang kuat pada persepsi mereka. Selain itu
seseorang yang tidak memiliki dorongan atau tidak terdorong terhadap rangsangan tertentu, maka akan mengabaikan
rangsangan yang datang. (2) kecendrungan sementara untuk merespon cara atau
kebiasaan
tertentu. Kecenderungan ini dapat berubah ketika
seseorang diharapkan pada perintah (intructions)
dan balas jasa (reward) yang
berbeda.
b. Pengaruh eksternal
Pengaruh
eksternal menghasilkan sifat-sifat rangsangan atau kelompok-kelompok
rangsangan. Perhatian secara mendalam terhadap pengaruh eksternal ini timbul selama
masa-masa awal psikologi Gestalt. Teori ini mulai dikenal sekitar tahun 1910
oleh Wherteimer dan dilanjutkan oleh Kohler serta Kohffka di Universitas
Frangfrut. Teori ini menekankan pada arti secara keseluruhan (meaningfull wholes) sehingga dikenal
dengan sebutan Gestalten.[21]
Persepsi merupakan keseluruhan konfigurasi (gestalt)
dari proses pengamatan yang terjadi dalam diri manusia melalui sensoringnya,
kemudian perangsang bergabung dengan respon dan diproses oleh kecerdasan
sehingga menimbulkan pemahaman atau pengertian terhadap masalah yang tengah
dihadapi. Tindakan-tindakan yang termasuk dalam pengaruh eksternal ini adalah:
1) hubungan figure-ground (relationship):
2) kontras (kontrase): 3) kontinuitas
(continuity): 4) intensitas (intensity): dan 5) Pengelompokan (grouping).
Berdasarkan
uraian di atas, maka yang dimaksud persepsi dalam penelitian ini adalah bentuk
interpretasi atau pemahaman guru tentang rangsangan, berupa gaya kepemimpinan,
kemampuan dalam memimpin, kemampuan kepala sekolah berinteraksi secara
komunikatif dengan guru dan tentang peran kepala sekolah dalam menjalankan tugasnya.
Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa persepsi guru
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi interpretasi dan pemahamannya
terhadap kepemimpinan kepala sekolah. Faktor-faktor itu adalah:
a. Faktor internal,
yang meliputi:
1) dorongan, dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang
mendorong seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu.[22]
Apabila guru memiliki dorongan terhadap
kepemimpinan kepala sekolah, maka ia akan mudah untuk memahami dan menginterpretasikannya.
Sebaliknya apabila guru tidak memiliki dorongan tentang adanya rangsangan tertentu, seperti
kepemimpinan kepala sekolah, maka cenderung akan mengabaikan rangsangan
tersebut.
2) kecenderungan sementara untuk merespon cara atau
kebiasaan tertentu. Persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah
dipengaruhi oleh kecenderungan guru dalam merespon tugas pemimpin yang
diperankan oleh kepala sekolah
b. Faktor eksternal, yang meliputi:
1. Hubungan Figure-Ground, yaitu hubungan antara
rangsangan utama dengan suasana yang ada di sekelilingnya secara keseluruhan.
Kepemimpinan kepala sekolah sebagai rangsangan utama (figure) hubungan erat dengan lingkungan kerja para guru (ground), sehingga menimbulkan
interpretasi dan pemahaman para guru tentang kepemimpinan kepala sekolah.
2. Kontras, yaitu suatu rangsangan yang berbeda secara
nyata dari rangsangan-rangsangan lain yang ada di sekelilingnya. Rangsangan ini
adalah kepemimpinan kepala sekolah. Guru menginterpretasikan diri pada
kepemimpinan kepala sekolah dan bukan pada rangsangan-rangasangan lain seperti
kondisi sekolah, lingkungan kerja dan lain-lain.
3.
Kontinuitas, yaitu rangsangan yang tidak pernah berhenti untuk direspon
seseorang. Seseorang cenderung untuk melaksanakannya sebagai kombinasi berbagai
rangasangan yang terus berlanjut. Secara organisatoris, terdapat saling
hubungan komunikatif antara kepala sekolah sebagai pemimpin dan guru sebagai
anggota organisasi. Selama proses tersebut, berbagai bentuk rangsangan berupa
pemberian tugas, perhatian, ujian dan lain sebagainya akan diterima oleh guru.
Dari rangsangan-rangsangan yang terus-menerus ini akan melanjutkan interpretasi
dan pemahaman guru, tentang kepemimpinan kepala sekolah.
4.
Intensitas, yaitu semakin besar, (intens)
suatu stimulus datang, maka semakin besar pula perhatian yang diberikan
seseorang terhadap rangsangan tersebut. Stimulus yang lebih menonjol akan
semakin diperhatikan. Hal ini bararti bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang
menonjol di antara perilaku yang lainnya. Sejalan dengan itu ada pendapat bahwa
bila dua orang atau lebih berkumpul bersama, maka akan terdapat seorang
pemimpin di antara mereka yang memainkan peran labih aktif dan yang lebih dominan di antara
mereka.[23]
Dengan kepemimpinan tersebut akan mampu membuat guru menaruh perhatian terhadap
kepala sekolah, sehingga menimbulkan persepsi tentang kepemimpinannya.
5.
Pengelompokan, yaitu penempatan rangsangan yang dapat mempengaruhi perhatian
dan pemahaman seseorang terhadap rangsangan tersebut. Hal itu terjadi bila
rangsangan muncul dalam ruang dan waktu yang bersamaan (grouping). Rangsangan yang dimaksud adalah kepemimpinan kepala
sekolah, yang dalam situasi dan kondisi yang bersamaan ditampilkan secara
aplikatif, secara dilibatkan dalam proses komunikasi dengan para guru sehingga
melahirkan pemahaman dan interpretasi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah.
Hal ini dikarenakan proses komunikasi memerlukan langkah-langkah yang
melibatkan pengalihan pesan yang merupakan gagasan atau ide pemimpin (kepala
Sekolah) untuk disampaikan kepada para bawahannya (guru) melalui pemahaman dan
interpretasi yang dimiliki oleh para bawahannya.[24]
Kepemimpinan merupakan aspek penting dalam mengelola
organisasi untuk sekolah. Kepemimpinan merupakan tipe pengaruh yang dimiliki
oleh seseorang yang diterapkan dalam situasi tertentu serta dilahirkan melalui proses komunikasi guna mencapai
tujuan.[25]
Kepemimpinan juga diartikan sebagai proses dimana seseorang melakukan usaha
untuk mempengaruhi orang lain.[26]
Pendapat senada bahwa kepemimpinan adalah pengaruh seseorang terhadap aktivitas
kelompok dan ia dipercayai dibandingkan dengan anggota kelompok lainnya.[27]
Dengan demikian esensi dasar dari kepemimpinan adalah ketaatan (Followership) atau keinginan orang untuk
mengikuti seseorang lainnya yang dianggap sebagai pemimpin.[28]
Teori-teori
yang dipaparkan di atas, maka dapat ditafsirkan bahwa kepemimpinan adalah
kemampuan dan kesiapan yang dimiliki seseorang untuk dapat mempengaruhi,
mendorong, mengajak, menuntun, menggerakan, mengarahkan, dan bila perlu memaksa
orang atau kelompok menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu
yang dapat membantu tercapainya suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Berkenaan
dengan uraian di atas, sejumlah peneliti kepemimpinan mengasumsikan bahwa
kemampuan memimpin dan ketaatan kepada pemimpin lebih banyak didasarkan pada gaya kepemimpinan
yang ditunjukan oleh pemimpin itu sendiri.[29]
Perilaku dan gaya kepemimpinan ini perlu dijelaskan untuk
memahami hakikat kepemimpinan itu sendiri, dimana penelitian ini akan mengulas
tentang kepemimpinan kepala sekolah. Dengan mengetahui perilaku dan gaya
kepemimpinan kepala sekolah akan dapat diuraikan tentang hakikat kepemimpinan
kepala sekolah.
Pada
dasarnya para pemimpin menerapkan tiga dasar gaya kepemimpinan yaitu: 1)
otokrasi, 2) demokratis, dan 3) free rein. Lebih lanjut gaya kepemimpinan untuk
dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Otokrasi, yaitu pemimpin yang memngganggap dirinya sebagai satu-satunya pemberi perintah dan mengharuskan orang lain mematuhinya secara dogmatis. Gaya ini diimbangi dengan kemampuannya untuk tidak memberi atau memberi penghargaan dan hukuman (lihat diagram 1.1 gambar A).
- Demokratis, disebut juga partisipatif, yaitu pemimpin yang merundingkan setiap tindakan dan keputusan dengan para bawahannya serta mendorong para bawahannya untuk berpartisipasi dalam melaksanakan tugas guna mencapai tujuan yang ditetapkan (lihat diagram 1.1 Gambar B).
- Free rein, yaitu pemimpin yang sangat tergantung kepada bawahannya untuk menyusun tujuan dan mendorong anggota dalam mencapai tujuan tersebut. Bawahan diberi kebebasan untuk bertindak dengan cara menyediakan informasi dan tindakan yang diaggap penting saat mereka berhubungan dengan lingkungan kelompok eksternal (lihat diagram 1.1 gambar C).[30]
Diagram 1.1
Berbagai
Gaya Kepemimpinan
|
|
||||||
|
Sumber : Harorld Koontz, Cyril O’Donnell, and Heinz
Weihrich,
Management
(New York : Mcgraw-Hill Book Company, 1984), h.
509.
Kepemimpinan adalah kemampuan dan kesiapan yang dimiliki
seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakan,
mengarahkan, dan bila perlu memaksa orang atau kelompok agar menerima pengaruh
tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya suatu
tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Dilihat dari definisi tersebut, maka kepemimpinan kepala
sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam organisasi sekolah. Hal ini
membawa konsekuensi bahwa kepala sekolah harus mengefektifkan kepemimpinannya guna mempengaruhi guru untuk berusaha
keras menampilkan kinerja yang terbaik dalam rangka mencapai tujuan sekolah.
Guru bersedia menggunakan kemampuan dan professionalisasi dalam bekerja untuk
mencapai kinerja yang diharapkan, sehingga dengan kesadaran dan loyalitas yang
tinggi didapatkan kualitas pendidikan yang dicita-citakan.
Berdasarkan pada berbagai teori dan uraian di muka, maka
hakikat persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam meneliti ini
adalah bentuk pemahaman atau interpretasi siswa tentang kepemimpinan kepala
sekolah dalam mempengaruhi para guru agar bekerja secara efektif dan efisien
untuk mencapai kinerja yang diharapkan.
Berdasarkan kajian teori di atas, maka dapat dirumuskan indikator
persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah, sebagai berikut:
interperetasi atau pemahaman siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah,
meliputi pendapat siswa tentang kepemimpinan, kemampuan diri dalam memimpin,
kemampuan berkomunikasi dengan guru, serta peran kepala sekolah sebagai seorang
pemimpin.
3. Hakikat Kinerja Guru
Teori
expectancy dikemukakan bahwa kinerja adalah hasil interaksi antara
dorongan dengan ability (kemampuan
dasar) atau dirumuskan sebagai performance = f (ability X dorongan ).[31]
Implikasi dari teori tersebut menunjukkan bahwa orang yang sebenarnya memiliki
kemampuan dasar tinggi tetapi rendah dorongan nya akan menghasilkan kinerja
yang rendah. Begitu pula halnya dengan orang yang tinggi dorongan nya tetapi
memiliki kemampuan dasar rendah, maka kinerjanya rendah pula. Bila demikian,
maka di samping kemampuan dasar, secara partial dorongan dapat merupakan salah satu unsur dari suatu
kinerja, konsep penting di atas adalah bahwa untuk mengungkap dan mengukur
kinerja guru dapat dilakukan dengan menelaah kemampuan dasar guru atau
pelaksanaan kompetensi dasar guru.
Istilah
kinerja sebagai terjemahan dari kata performance, yang dapat diartikan sebagai
kemampuan yang menunjukkan kesungguhan melaksanakan pekerjaan.[32]
Sehingga menunjukkan hasil yang baik. Kesungguhan melaksanakan pekerjaan
menunjukkan kemampuan yang dimiliki seseorang dan menunjukkan kinerja. Kinerja
juga diartikan sebagai luaran kerja yang dapat diukur. Kinerja adalah bagian
dari kemampuan unjuk kerja, karena unjuk kerja merupakan perbandingan luaran
kerja dan perilaku kerja.[33]
Dengan demikian kinerja merupakan perwujudan dari kemampuan seseorang dalam
melaksanakan pekerjaan yang dapat diukur dari hasil kerja yang dicapai.
Penilaian terhadap kinerja guru akan berkaitan dengan masalah utama mengenai
evaluasi kegiatan mengajar itu sendiri, dan perilaku mengajar digunakan sebagai
dasar untuk menilai suatu kinerja.[34]
Hal ini berarti untuk melihat kinerja guru dapat dilakukan dengan melakukan
penilaian terhadap perilaku guru dalam melakasanakan proses belajar-mengajar.
Sedangkan proses belajar-mengajar menurut kemampuan guru mulai dari perencanaan
program belajar-mengajar sampai pada evaluasi program belajar-mengajar.
Kinerja
juga bermakna sebagai ukuran dari suatu hasil kerja.[35]
Hal ini berarti menunjukkan pada kualitas kerja yang ditampilkan seseorang yang
dapat diketahui tinggi rendah atau baik buruknya. Dengan demikian kinerja
menunjuk pada mutu kerja seseorang sebagai cermin dari kemampuannya. Sementara
itu Bernandin & Russel sebagaimana dikutip oleh Akhmad S Ruky
mengemukakan “Performance is defined as the record of outcomes produced on a
specifies job function or activity during a specified time period”.[36]
Kinerja merupakan catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi
pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Hal ini
berarti kinerja dapat diukur melalui catatan dari hasil pekerjaan dalam kurun
waktu tertentu.
Dari
berbagai pendapat tersebut dapat ditafsirkan bahwa kinerja adalah hasil kerja
seseorang atau kemampuan kerja seseorang atau kelompok orang pada waktu
tertentu.
Kinerja guru dalam penelitian ini difokuskan dalam kajian
manajemen sistem pembelajaran. Hal ini berarti membahas aktivitas guru dalam
mengelola kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang di dalamnya terdapat siswa
sebagai bahan (material), sumber belajar, dan lingkungan belajar, mulai dari
perencanaan program belajar-mengajar, pelakasanaan program belajar-mengajar, sampai pada evaluasi program
belajar-mengajar, sehingga terjadi proses pembelajaran yang efektif dalam
rangka mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian, kinerja guru dapat
diartikan sebagai suatu kondisi yang menunjukan kemampuan seorang guru dalam
menjalankan adanya suatu perbuatan yang ditampilkan guru dalam melakukan
aktivitas mengajar di sekolah.
Supaya memiliki kinerja yang baik, seorang guru harus memahami
fungsi dan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu, seorang guru harus memilki
bekal atau pengetahuan yang luas tentang profesinya sehingga tahu betul tugas
yang mesti dilakukannya, sehingga guru dapat membedakan dan mengerti pada
prioritas pekerjaan yang harus dan tidak harus dilaksanakan. Untuk mencapai
kinerja yang baik diperlukan target-target penguasaan keterampilan dan
kemampuan-kemampuan tertentu bagi jabatan guru, seperti menguasai kompetensi
dasar guru. Oleh karena itu, dari aspek personal diperlukan adanya kesadaran
dan tanggungjawab yang mendalam untuk menciptakan suatu kinerja yang baik,
sebab dapat dikatakan bahwa kinerja berkaitan dengan kesadaran pegawai terhadap
pekerjaan mereka.[37]
Sementara kesadaran pegawai terhadap pekerjaan mereka sangat dipengaruhi oleh
dorongan pegawai tersebut dan tingkat kepuasan kerjanya. Dorongan dan tingkat
kepuasan kerja ini sangat berhubungan dengan gaya kepemimpinan dari pemimpin
organisasi.
Kinerja guru yang baik akan menghasilkan prestasi belajar
siswa yang baik pula. Selanjutnya kinerja yang baik terlihat dari hasil yang
diperoleh dari penilaian hasil belajar siswa.[38]
Hal ini berarti bahwa dalam proses belajar-mengajar kinerja guru berkaitan erat
dengan hasil belajar siswa. Selanjutnya beberapa indikator kinerja guru nampak
dalam hal hasil belajar siswa, kepuasan siswa dan orang tua, perilaku sosial
dan kehadiran guru.[39]
Jadi, jelaslah bahwa menilai dan memahami kinerja guru tidak terlepas dari
siswa sebagai subyek didik dan tingkat prestasi belajar yang dicapai siswa
menggambarkan kinerja guru sebagai perencanaan dan pengelola pengajaran atau
administrator kelas.
Berdasarkan
uraian di muka, maka dapat ditafsirkan bahwa kinerja guru pada hakikatnya
adalah kemampuan guru yang diwujudkan dalam kerja yang baik di dalam
melakasanakan tugas baik sebagi pengajar pembimbing dan administrator lelas.
Tugas utama seorang guru adalah merencanakan, mengelola,
menilai proses belajar-mengajar yang di dalamnya terdapat berbagai kegiatan
memilih, menilai, dan mengambil keputusan professional.[40]
Sedikitnya ada lima aspek pembuatan keputusan di dalam lingkungan pengajaran
yang dilakukan seorang guru. Pertama, guru membuat keputusan untuk mencapai
tujuan akademis, sosial dan perilaku. Umpamanya guru membuat keputusan monitoring perilaku
siswa ketika kerja kelompok. Kedua, guru membuat keputusan dalam interaksi
lingkungan kompleks dengan siswa dalam berbagai cara. Umpamanya memonitor dan
merespon perilaku siswa. Guru yang efektif memiliki tingkat kemampuan menyadari
apa yang terjadi di dalam kelas dan mengkomunikasikannya pada siswa melalui
tindakan. Ketiga, guru perlu mempertimbangkan berbagai persepektif ketika
membuat keputusan. Penafsiran guru terhadap situasi berbeda dengan siswa. Guru
yang bersifat reflektif harus menggunakan pengalaman, pengetahuan tentang
pengajaran efektif, intuisi dan wawasan untuk memahami bagaimana peristiwa yang
terjadi dalam kelas mempengaruhi belajar. Keempat, guru harus membuat
penyesuaian rencana dengan perubahan dan kondisi di dalam kelas. Kelima, guru
harus membuat keputusan rencana pembelajaran, memodifikasi pembelajaran,
memperkuat pembelajaran agar sesuai harapan. Sebagai administrator atau
manajer, seorang guru memiliki tugas untuk a) merencanakan, b)
mengorganisasikan, c) memimpin, dan d) mengawasi.[41]
Dengan demikian sesungguhnya tugas seorang guru cukup berat, karena aktivitas
yang harus dilakukannya memerlukan sikap, perilaku, keterampilan, konteks dan
konsekuensi tertentu yang dilakukan secara professional, efektif dan efisien.
Proses
belajar-mengajar guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing dan memberi
fasilitas belajar bagi murid-murid untuk mencapai tujuan.[42]
Guru mempunyai tanggungjawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam
kelas untuk membantu perkembangan anak. Penyampaian materi pelajaran hanyalah
merupakan salah satu dari berbagai kegiatan dalam belajar sebagai suatu proses
yang dinamis dalam segala fase dan proses perkembangan anak, secara lebih rinci
tugas guru berpusat pada: (1) Mendidik anak dengan titik berat memberikan arah
dan dorongan, pencapaian tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang. (2)
Memberi fasilitas pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar yang memadai.
(3) Membantu perkembangan aspek-aspek pribadi seperti sikap, nilai-nilai dan
penyesuaian diri.[43]
Dalam proses belajar-mengajar peran dan fungsi guru tidak
terbatas sebagai penyampai ilmu pengetahuan, akan tetapi lebih dari itu, ia
bertanggungjawab akan keseluruhan perkembangan kepribadian murid. Ia harus
mampu menciptakan proses belajar yang sedemikian rupa, sehingga dapat
merangsang murid untuk belajar secara aktif dan dinamis dalam memenuhi
kebutuhan dan mencapai tujuan.
Kompetensi guru telah pula dikembangkan oleh proyek
pembinaan pendidikan guru (P3G) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada
dasarnya kompetensi guru menurut P3G bertolak dari analisis tugas-tugas seorang
guru, baik sebagai pengajar, pembimbing, maupun sebagai administrator kelas.
Kesepuluh kompetensi guru menurut P3G, yaitu: 1) menguasai bahan, 2) mengelola program belajar-mengajar,
3) mengelola kelas, 4) menggunakan media/sumber belajar, 5) menguasai landasan
kependidikan, 6) mengelola interaksi belajar-mengajar, 7) menilai prestasi
belajar, 8) mengenal fungsi dan layanan bimbingan penyuluhan, 9) mengenal dan
menyelenggarakan administrasi sekolah, dan 10) memahami dan menafsirkan hasil
penelitian guna keperluan pengajaran.[44]
Delapan dari sepuluh kompetensi yang disebutkan di atas
lebih diarahkan kepada kompetensi guru sebagai pengajar. Dapat dianalisis pula
bahwa kesepuluh kompetensi tersebut hanya mencakup dua bidang kompetensi sikap,
khususnya sikap professional guru tidak tampak.
Kompetensi menunjuk kepada perfomance dari perbuatan yang
rasional di dalam pelaksanaan tugas-tugas.[45]
Ini berarti, dari segi kompetensi, kinerja guru mengacu pada perilaku guru
ketika mengajar di kelas. Dengan demikian maka jelaslah bahwa kinerja guru akan
sangat terkait dengan akativitas dan pola kerja guru dalam mengajar di kelas
yang berarti juga melihat keterampilannya dalam mengelola proses
belajar-mengajar. Pada dasarnya kompetensi perilaku sebagai kemampuan guru
dalam berbagai keterampilan/berperilaku, seperti keterampilan menyusun
perencanaan/persiapan mengajar, keterampilan mengajar, membimbing, menilai,
keterampilan menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul dan berkomunikasi
dengan siswa; keterampilan menumbuhkan semangat belajar para siswa.[46]
Istilah keterampilan (skill) menunjuk
kepada kemampuan dari seseorang untuk melakukan berbagai jenis kegiatan
kognitif atau keperilakuan (behavioral)
dengan suatu cara yang efektif.[47]
Keterampilan dapat dibedakan dalam dua macam, yakni
psikomotor dan intelektual, dan hampir setiap keterampilan terdiri dari kedua
unsur tersebut. Hanya saja bobotnya yang berbeda, ada yang lebih menonjol aspek
intelektualnya atau sebaliknya lebih menonjol aspek psikomotornya. Dalam
interaksi belajar-mengajar keterampilan belajar dibagi dalam tiga klasifikasi,
yaitu yang berkaitan dengan aspek materi, kesiapan dan keterampilan
operasional.[48]
Ada empat aspek kompetensi yang harus dikembangkan guru,
yaitu: 1) kompetensi pedagogik, 2) kompetensi pribadi, 3) kompetensi profesi,
dan 4) kompetensi kemasyarakatan.[49]
Kompetensi pedagogik, seorang guru harus mampu menyampaikan materi sesuai
dengan kebutuhan peserta didik. Kompetensi pribadi, seorang guru harus meiliki
sikap kepribadian yang mantap, sehingga mampu berfungsi sebagai sumber
identifikasi bagi siswa, dan dapat menjadi penuntun bagi siswa dan
masyarakatnya. Kompetensi profesi, bahwa setiap guru perlu memiliki pengetahuan
yang luas dan tentang materi yang harus diajarkan serta menguasai metodologi pengajaran yang meliputi konsep
teori dan praktis. Kompetensi kemasyarakatan/sosial, yaitu bahwa seorang guru
hendaknya mampu membangun komunikasi yang efektif dengan lingkungan sekitarnya
termasuk dengan para siswa, teman sejawat, atasan, pegawai sekolah, dan
masyarakat luas. Kompetensi profesi berkaitan erat dengan kemampuan edukatif
dan administratif guru, sedangkan kompetensi kepribadian dan kemasyarakatan
dianggap sebagai kompetensi umum yang wajib dimiliki oleh setiap guru. Dengan
demikian berarti seorang guru di samping senantiasa dituntut untuk
mengembangkan pribadi dan profesinya secara terus-menerus, juga dituntut mampu
dan siap berperan secara professional dalam lingkungan sekolah dan masyarakat.
Kompetensi profesi guru itu sendiri dapat digolongkan
menjadi: 1) kompetensi pengetahuan (knowledge
competencies), yang menekankan aspek pengetahuan guru; 2) kompetensi
penampilan perbuatan (performance
competencies), yang menekankan aspek perilaku/kinerja guru yang dapat
diamati; dan 3) kompetensi akibat (consequence
competencies) yang menekankan pada aspek hasil belajar siswa yang merupakan
akibat dari kompetensi pengetahuan dan penampilan guru.[50]
Berdasarkan uraian di muka, maka konsep kinerja guru
sebagai cara kerja yang menyangkut kemampuan melaksanakan tugas mengajar dapat
dilihat dari indikator: 1) kemampuan merencanakan program belajar mengajar, 2)
kemampuan melaksanakan/mengelola proses pembelajaran dan 3) kemampuan manilai proses
belajar-mengajar. Ketiga hal tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari
kompetensi guru. Kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan dan keterampilan
yang harus dimiliki seseorang dalam melaksanakan tugasnya. Pengetahuan dan keterampilan
itu dapat diperoleh melalui pendidikan atau latihan.
1). Merencanakan Program Belajar-Mengajar
Agar
proses belajar-mengajar berlangsung dengan baik dan mencapai hasil yang
diharapkan, maka harus direncanakan sedemikian rupa dalam bentuk perencanaan
mengajar. Setiap perencanaan selalu berkenaan dengan perkiraan mengenai apa
yang akan dilakukan. Demikian halnya dalam perencanaan mengajar memperkirakan
mengenai tindakan apa yang akan dilakukan pada waktu melaksanakan pengajaran.
Isi perencanaan pengajaran mengatur dan menetapkan unsur-unsur/komponen
pengajaran seperti tujuan, bahan atau isi, metode dan alat, serta
evaluasi/penilaian.
Kemampuan
merencanakan program belajar-mengajar bagi profesi guru sama dengan kemampuan
mendesain bangunan bagi seorang arsitek. Ia tidak hanya membuat gambar yang
baik dan memiliki nilai estetis, tetapi juga harus mengetahui makna dan tujuan
dari desain yang dibuatnya. Demikianlah halnya guru dalam membuat rencana atau
program belajar-mengajar. Seorang guru harus mengetahui arti dan tujuan
perencanaan tersebut, dan menguasai secara teoritis dan praktis unsur-unsur
yang terdapat dalam perencanaan belajar-mengajar. Kemampuan merencanakan program belajar-mengajar merupakan muara
dari segala pengetahuan teori, keterampilan dasar, dan pemahaman yang mendalam
tentang obyek belajar dan situasi pengajaran.
Makna
atau arti program belajar-mengajar tidak lain adalah suatu proyeksi guru
mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa selama pembelajaran berlangsung.
Dalam kegiatan tersebut secara terperinci harus jelas ke mana siswa itu akan
dibawa (tujuan), apa yang harus ia pelajari (isi bahan pengajaran), bagaimana
cara ia mempelajarinya (metode dan teknik), dan bagaimana kita mengetahui bahwa
siswa telah mencapainya (penilaian).[51]
Unsur-unsur
utama yang harus ada dalam setiap perencanaan pengajaran yaitu: a) tujuan yang
hendak dicapai, yaitu bentuk-bentuk tingakah laku apa yang diinginkan untuk
memiliki siswa setelah terjadinya proses belajar-mengajar, b) bahan pelajaran
atau isi pelajaran yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan, dan d)
penilaian yakni bagaimana menciptakan dan menggunakan alat untuk mengetahui
apakah tujuan itu tercapai atau tidak.[52]
Kegiatan
merencanakan program belajar-mengajar menurut pola prosedur pengembangan sistem
intruksional (PPSI) meliputi: 1) merumuskan tujuan intruksional, 2) menguraikan
deskripsi satuan bahasan, 3) merancang kegiatan belajar-mengajar, 4) memilih
berbagai media dan sumber belajar, 5) menyusun instrumen untuk
menilai penguasaan tujuan.[53]
Kemampuan merencanakan program belajar-mengajar mencakup kemampuan: 1)
merencanakan pengorganisasian bahan pengajaran, 2) merencanakan pengelolaan
kegiatan belajar-mengajar, 3) merencanakan pengelolaan kelas, 4) merencanakan
penggunaan media dan sumber pengajaran, dan 5) merencanakan penilaian prestasi
siswa untuk kepentingan pengajaran.[54]
Sebelum
guru melaksanakan kegiatan belajar-mengajar diharapkan membuat perencanaan
belajar-mengajar yang meliputi program tahunan, dan Rencana Persiapan pembelajaran
(RPP). Terdapat delapan kegiatan dalam menyusun persiapan mengajar yaitu: 1)
menentukan tujuan intruksional umum, 2) menentukan tujuan intruksional khusus;
3) mambuat analisis tentang karakteristik siswa, 4) menentukan materi/bahan
pelajaran yang sesuai dengan RPP, 5) menetapkan tes awal (pre-test); 6)
menentukan strategi belajar-mengajar yang sesuai meliputi pendahuluan, kegiatan
inti dan penutup, 7) mengkoordinasikan sarana penunjang yang diperlukan
meliputi biaya, fasilitas, peralatan, waktu, dan tenaga, dan 8) melakukan
evaluasi.[55]
Berdasarkan
uraian di atas, maka kinerja guru dari dimensi merencanakan program
belajar-mengajar dalam penelitian ini terdiri atas tiga indikator, yakni
kemampuan: 1) merencanakan pengorganisasian bahan pelajaran, 2) merencanakan pengelolaan kegiatan
belajar-mengajar, dan 3) merencanakan penggunaan media dan sumber pengajaran.
Dari ketiga indikator tersebut akan dijabarkan dalam beberapa aspek pengukuran
yang lebih bersifat operasional.
2). Melaksanakan Proses Belajar-Mengajar
Melaksanakan atau mengelola kegiatan belajar-mengajar
merupakan tahap pelaksanaan program yang telah dibuat. Dalam pelaksanaan proses
belajar-mengajar kemampuan yang dituntut adalah keaktifan guru dalam
menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai dengan rencana yang
telah disusun dalam perencanaan. Guru harus dapat mengambil keputusan atas
dasar penilaian yang tepat, apakah kegiatan belajar-mengajar dihentikan,
ataukah diubah metodenya, apakah mengulang dulu yang lalu, manakala siswa belum
dapat mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Pada tahap ini, di samping
pengetahuan-pengetahuan teori tentang belajar-mengajar, tentang siswa,
diperlukan pula kemahiran dan keterampilan teknis mengajar. Misalnya,
prinsip-prinsip mengajar, penggunaan alat bantu pengajaran, penggunaan metode
mengajar, keterampilan menilai hasil belajar siswa, keterampilan memilih dan
menggunakan strategi atau pendekatan mengajar.
Pelaksanaan
kegiatan belajar-mengajar pada dasarnya merupakan implementasi dari perencanaan
kegiatan belajar-mengajar (RPP) yang telah dibuat. Semua yang telah ditetapkan
dalam perencanaan kegiatan belajar-mengajar, diwujudkan secara nyata melalui
keterampilan mengajar. Keterampilan dasar mengajar mencakup keterampilan: 1)
memulai dan mengakhiri pelajaran, 2) menjelaskan, 3) bertanya, 4) memberi
penguatan, 5) mengadakan variasi, 6) membimbing diskusi kelompok, dan 7)
mengelola kelas.[56]
Persyaratan kemampuan yang harus dimiliki guru dalam
melaksanakan proses belajar-mengajar meliputi kemampuan: 1) menggunakan metode
mengajar, media pelajaran dan bahan latihan yang sesuai dengan tujuan
pengajaran, 2) berkomunikasi dengan siswa, 3) mendemonstrasikan berbagai metode
mengajar, 4) mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran dan perlengkapan
pengajaran, dan 5) melaksanakan evaluasi pencapaian siswa dalam proses
belajar-mengajar.[57]
Pendapat
serupa tentang kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh guru dalam
melaksanakan program belajar-mengajar mencakup kemampuan sebagai berikut: 1)
mendorong siswa belajar dari saat
membuka sampai menutup pelajaran, 2) mengarahkan tujuan pengajaran, 3)
menyajikan bahan pelajaran dengan metode yang relevan dengan tujuan pengajaran,
4) melakukan pemantapan belajar (reinforcement),
5) menggunakan alat-alat bantu pengajaran dengan baik, 6) memperbaiki program
belajar-mengajar untuk keperluan mendatang, 7)
melaksanakan layanan bimbingan penyuluhan, dan 8)
melaksanakan penilaian hasil belajar.[58]
Pelaksanaan proses belajar-mengajar menyangkut
pengelolaan pembelajaran dalam menyampaikan materi atau isi pesan pembelajaran
harus dilakukan secara terencana dan sistematik; tujuan pengajaran dapat
dikuasai oleh siswa secara efektif dan efisien.
Kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan kegiatan
belajar-mengajar nampak dalam mengidentifikasikan karakteristik dan kemampuan
awal siswa, kemudian mendiagnosis,
menilai dan merespon setiap perubahan perilaku siswa. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa mengajar merupakan suatu kegiatan dimana berlangsung hubungan antar
manusia, bertujuan membantu perkembangan dan menolong keterlibatan siswa dalam
pembelajaran. Pada dasarnya kegiatan belajar adalah menciptakan lingkungan dan
suasana yang dapat menimbulkan perubahan struktur kognitif para siswa.[59]
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditafsirkan bahwa
kinerja guru dari dimensi melaksanakan peroses belajar-mengajar mencakup
indikator kemampuan; 1. membuka dan
menyampaikan tujuan pengajaran 2. menyampaikan/mengelola materi, 3. menggunakan
metode dan bahan latihan sesuai dengan rencana, 4. mengorganisasi waktu, dan 5.
mendorong keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Dari kelima indikator tersebut akan dijabarkan dalam beberapa aspek pengukuran
yang lebih bersifat operasional.
3). Menilai Kemajuan Proses Belajar-Mengajar
Setiap guru harus melakukan penilaian tentang kemajuan
yang telah di capai oleh siswa, baik secara iluminatif-observatif maupun secara
struktural-obyektif. Penilaian secara iluminatif-observatif dilakukan dengan
pengamatan yang terus-menerus tentang perubahan dan kemajuan yang dicapai oleh
siswa. Penilaian secara obyektif-obyektif berhubungan dengan pemberian skor,
angka, atau nilai yang biasa dilakukan yang dilakukan dalam rangka penilaian
hasil belajar siswa.
Perencanaan kegiatan belajar-mengajar yang telah dibuat
diwujudkan secara nyata, perlu dilakukan penilaian/evaluasi. Penilaian
diartikan sebagai proses yang menentukan baik atau tidaknya program/kegiatan
yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[60]
Penilaian juga berarti proses pengumpulan informasi dan penggunaan informasi
untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan.[61]
Tujuan utama melakukan evaluasi dalam proses
belajar-mengajar adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai
tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa, sehingga dapat dilanjutkan
tingkat lanjutnya, dengan demikian kinerja guru dari dimensi menilai kemajuan proses belajar-mengajar mencakup kemampuan
indikator: 1) evaluasi presentasi siswa, dan 2) pemanfaatan hasil evaluasi.
Dari kedua indikator tersebut dapat dijabarkan dalam beberapa aspek pengukuran
yang lebih bersifat operasional.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulakan bahwa
kinerja guru yang diwujudkan dalam cara kerja yang baik di dalam melaksanakan
tugas sebagai pengajar, pembimbing dan administrator kelas yang terdiri dari
indikator (1) kemampuan merencanakan program belajar-mengajar, (2) kemampuan
melaksanakan/mengelola proses belajar-mengajar, dan (3) kemampuan menilai
proses belajar-mengajar.
B. Penelitian yang
relevan.
Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sujono menafsirkan bahwa terdapat hubungan yang
positif antara persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah dengan
pengelolaan proses belajar-
mengajar.[62]
Sedangkan penelitian tentang hubungan antara variabel persepsi siswa tentang
kepemimpinan kepala sekolah dengan hasil belajar siswa masih perlu digali lagi,
untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang positif antara persepsi siswa
tentang kepemimpinan kepala sekolah dengan hasi belajar siswa.
Permasalahan guru yang berkenaan dengan hasil belajar
siswa dapat dilihat pada hal-hal yang berkenaan dengan masalah kepuasan kerja,
sebagaimana yang dikemukakan Robbin menurutnya ada tiga faktor yang menentukan
kepuasan kerja, yaitu: 1) kerja yang secara mental menentang. Karyawan cenderung
lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk
menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas,
kebebasan, dan umpan balik mengenai betapa baik mereka bekerja. Karakteristik
ini membuat kerja secara mental menantang pada kondisi tantangan yang sedang,
kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan. 2) ganjaran yang
pantas. Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang
mereka persepsikan sebagai adil yang didasarkan pada tuntunan pekerjaan, tingkat
keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan akan
dihasilkan kepuasan. Dan 3) kondisi kerja yang mendukung. Karyawan peduli akan
lingkungan kerja, baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan
mengerjakan tugas yang baik.[63]
Tiga dimensi di atas secara implisit menunjukkan kondisi yang memungkinkan
terwujudnya hasil yang baik. Dengan terciptanya kondisi yang diindikasikan pada
tiga dimensi tersebut, maka hasil karyawan (dalam hal ini guru) dapat terwujud
dengan baik.
Variabel
dorongan kerja dengan hasil memiliki hubungan yang positif. Kondisi ini
dijelaskan dalam teori harapan (ekspektasi) dari Viktor Vroom sebagaimana dikutip Robbin.
Teori pengharapan berargumentasi bahwa kekuatan dari suatu
kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu, bergantung pada
kekuatan dari sesuatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu
keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu
tersebut; atau dengan kata lain seorang karyawan didorong untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila
ia meyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian hasil yang baik; suatu
penilaian yang baik akan mendorong ganjaran-ganjaran organisasional seperti
bonus, kenaikan gaji, atau promosi, dan ganjaran itu akan memuaskan tujuan
pribadi karyawan itu. Teori tersebut memfokuskan pada tiga hubungan yaitu: 1). Hubungan
upaya hasil. Probabilitas yang dipersepsikan oleh individu yang mengeluarkan sejumlah
upaya tertentu itu akan mendorong hasil. 2). Hubungan hasil ganjaran. Derajat
sejauh mana individu itu meyakini bahwa berhasil pada suatu tingkat tertentu
akan mendorong tercapainya suatu keluaran yang diinginkan. 3). Hubungan ganjaran - tujuan pribadi.
Derajat sejauh mana ganjaran-ganjaran organisasional memenuhi
tujuan atau kebutuhan pribadi seseorang individu dan potensi daya tarik
ganjaran tersebut untuk individu tersebut.[64]
C. Hasil
Penelitian Sebelumnya yang Relevan
Hasil penelitian
ini mengungkapkan Hubungan Persepsi Siswa Tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah
dan Kinerja Guru Terhadap hasil Belajar Siswa SMPN 2 Kaduhejo Kabupaten
Pandeglang. Telah banyak penelitian yang dilakukan dan memiliki relevansi
dengan penelitaian di atas atau setidaknya mempunyai kaitan dengan substansi
permasalahan baik sebagian atau atau seluruh hasil penelitian. Hasil penelitian
tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
- Usman (1994) dalam tesisnya yang berjudul “ Kepemimpinan Kepla SMA Negeri di Biereun Aceh utara” anatara lain mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi prilaku kepemimpinan kepala sekolah dalam pengelolaan sekolah meliputi faktor penghambat dan penunjang. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa prilaku kepemimpinan kepala sekolah itu masih dominan menempatkan ciri keteladanan sebagai hal yang penting untuk memperoleh pengakuan atau kepatuhan para bawahan. Keadaan seperti ini diduga ada kaitannya dengan budaya yang berkembang pada masyarakat. Berdasarkan hal itu disarankan agar kepala sekolah melakukan berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan mengelola sekolah, mengikuti penataran, mengembangkan kegiatan dari setiap pendekatan yang dilakukan, memberikan motivasi dalam bentuk imbalan bagi bawahan yang dapat menyelesaikan tugas dengan baik, mengembangkan prilaku inisiatif dan kreatif, mengembangkan hubungan kerjasama yang multi arah serta menerapkan nilai-nilai kebersamaan yang saling menghormati.
- Inu Maja (1999) dalam tesisnya yang berjudul “Efektivitas Kepemimapinan Kepala Sekolah Dasar dalam Pengelolaan Hubungan Sekolah dengan Masyarakat untuk Menunjang Produktivitas Sekolah” antara lain mengemukakan bahwa keberhasilan sekolahy dalam melaksanakan peran dan fungsinya mempengaruhi kinerja dan produktivitas sekolah ada yang sudah efektif dan ada yang belum efektif, perlu adanya upaya untuk menjadikan efektif dengan meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam memimpin dengan berbagai cara yang mungkin baik individu maupun kelompiok. Selanjutnya disarankan kepada pihak terkait untuk mempersiapkan kemampuan manjerial kepala sekolah yang dibekali dengan fungsi perencanaan, pelaksanaa, dan pengawasan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan efektif dan efisien.
D. Kerangka
Berfikir Penelitian.
1. Hubungan antara
persepsi siswa tentang kepala sekolah terhadap
hasil belajar siswa.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa yang dimaksud
dengan persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah adalah
interpretasi dan pemahaman siswa tentang kegiatan kepala
sekolah sebagai pemimpin yang dipengaruhi oleh faktor internal yang meliputi dorongan
(motivation) dan kecenderungan
sementara, serta faktor eksternal berupa hubungan figure-ground (figure-ground relationship), kontras (kontrase), kontinuitas (ontinuity), intensitas (intensity), dan pengelompokan (grouping).
Faktor-faktor
yang membentuk persepsi tentang kepemimpinan kepala sekolah itu baik, maka akan
menghasilkan peningkatan hasil belajar siswa yang tinggi atau sebaliknya jika
faktor-faktor yang membentuk persepsi tentang kepemimpinan kepala sekolah itu
tidak baik, maka akan menyebabkan hasil belajar siswa rendah. Dengan demikian
dapat diduga adanya hubungan positif antara persepsi siswa tentang kepemimpinan
kepala sekolah terhadap hasil belajar siswa. Atau dapat dikatakan makin baik
persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja guru, makin baik
hasil belajar siswa di sekolah. Sebaliknya tidak baik persepsi siswa tentang kepemimpinan
kepala sekolah dan kinerja guru, maka makin rendah hasil belajar siswa di
sekolah.
2. Hubungan antara
kinerja guru terhadap hasil belajar siswa
Hasil belajar
siswa di sekolah pada dasarnya adalah hasil kemampuan guru yang diwujudkan
dalam cara kerja yang baik di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya baik sebagai
pengajar, pembimbing, dan administrator kelas.
Dalam meningkatkan hasil belajar siswa di sekolah
membutuhkan dorongan dalam bentuk terpenuhinya kebutuhan dan keinginan siswa
seperti keingginan siswa untuk berafiliasi dengan temannya di sekolah,
keinginan untuk mendapatkan status tingkatan sosial tertentu dalam kelasnya,
keinginan untuk mendapatkan pengahargaan dari pendidik atau guru, kinginan
untuk mengaktualisasikan diri, keinginan
untuk bekerja keras dalam membuat pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru dan
kemampuan bekerjasama dengan teman sekelasnya.
Dalam
kenyataannya terlihat gejala bahwa jika faktor kebutuhan yang mendorong
timbulnya kinerja guru meningkat, maka akan meningkatkan hasil belajar siswa di
sekolah, atau sebaliknya apabila faktor kebutuhan yang mendorong timbulnya
kinerja lemah maka akan menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa. Hal ini
mengindikasikan adanya hubungan antara pemenuhan kebutuhan sebagai pendorong
timbulnya kinerja terhadap hasil belajar siswa. Dengan demikian dapat diduga
ada hubungan positif antara kinerja terhadap hasil belajar siswa, dengan kata
lain makin tinggi kinerja guru, maka makin tinggi pula hasil belajar siswa.
Demikian pula sebaliknya makin rendah kinerja guru maka makin rendah pula hasil
belajar siswa di sekolah.
3. Hubungan antara
persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala
sekolah dan kinerja guru terhadap hasil
belajar siswa
Persepsi
siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah adalah interpretasi dan pemahaman
siswa tentang kegiatan kepala sekolah sebagai pemimpin dalam usaha mempengaruhi agar para siswa
secara sukarela mentaati dan melaksanakan peratuaran yang telah digariskan.
Interpretasi tersebut berpengaruh terhadap hasil belajar siswa di dalam
lingkungan pendidikan.
Persepsi
siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah berpengaruh terhadap hasil belajar
siswa di sekolah meliputi tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah, pendapat
siswa tentang kemampuan kepala sekolah dalam memimpin, pendapat siswa tentang
kemampuan kepala sekolah dalam berkomunikasi dengan guru, siswa dan pendapat
gsiswa tentang peran kepala sekolah sebagai seorang pemimpin dalam melaksanakan
tugas.
Dalam
kenyataannya terlihat gejala bahwa jika interpretasi dan pemahaman siswa
tentang kepala sekolah tersebut baik, maka akan meningkatkan kinerja guru dan
hasil belajar siswa, dengan demikian semakin baik persepsi siswa tentang
kepemimpinan kepala sekolah, maka akan semakin tinggi pula kinerja guru, dan
akan meningkatkan hasil belajar siswa di sekolah. Sebaliknya, bila persepsi siswa
tidak baik tentang kepemimpinan kepala sekolah, maka semakin rendah pula
kinerja guru, dan makin rendah hasil belajar siswa di sekolah.
Di
samping itu kinerja guru merupakan hasil dari akumulasi berbagai faktor, diantaranya
faktor dorongan yang menjadi motor penggerak untuk melaksanakan tugas. Dengan
kata lain, siswa akan memiliki hasil yang baik di sekolahnya, bila kinerja guru yang tinggi guna memenuhi
kebutuhannya.
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat diduga terdapat hubungan positif antara persepsi
siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja guru secara bersamaan
dengan hasil belajar siswa. Dengan perkataan lain bahwa makin baik persepsi
siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja guru secara bersama-sama,
maka akan makin tinggi hasil belajar siswa di sekolah. Sebaliknya makin tidak
baik pesepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah dan makin lemah kinerja
guru secara bersama-sama, maka akan makin rendah pula hasil belajar siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar