Tugas seorang guru ternyata
bukanlah sekedar sebagai media transper wawasan pengetahuan (knowledge)
semata kepada siswanya. Ada
tugas penting diatas itu, bahkan lebih penting dari sekedar berdiri di
depan kelas mengisi kepala siswanya, dan tugas inilah yang
sebenarnya kerap diabaikan secara tidak sadar.
Tentunya
tugas yang kita maksud tidak lebih bagaimana seorang guru mampu menjaga
etika, sikap dan perilakunya selama melakukan proses belajar mengajar dan
diluar itu. Inilah beban moralnya ketika soal moralitas dirinya harus
diperlihara dihadapan siapa saja.
Sesungguhnya
ada empat aspek yang harus bisa dicontoh siswa dari gurunya,
pertama, aspek perilaku dan etika, dalam hal ini tatakrama dan sopan santun.
Cara berbicara, menyuruh siswa, cara menghargai serta cara mendidik.
Kedua, aspek wawasan pengetahuan yang justeru sekarang dianggap
sebagai tugas utama seorang guru dengan mengenyampingkan tugas-tugas
lainnya. Ketiga aspek motivasi diri yang muncul dari diri seorang
guru, yang pada gilirannya bakal memacu motivasi anak-anaknya untuk
selalu semangat dalam belajar dan semangat dalam menjalani kehidupan; guru tak
lebih seorang motivator dan trainer pengembangan diri terapan. Dan
keempat, adalah aspek, nilai-nilai kejujuran dan kebenaran yang harus
disandangnya sebelum siswa menerapkan sendiri dalam kehidupan mereka.
Etika dan perilaku guru, menjadi sorotan sebab, kegagalan anak didik dalam
mengemban perilaku terpuji dan beretika di bangku sekolah gagal total lantaran
orang yang pertama mengajari mereka bukanlah seorang guru yang baik dan sopan
pula. Kemudian diikuti oleh aspek motivasi dan nilai-nilai kejujuran yang
tidak dimiliki oleh guru yang juga membuat siswanya seolah sedang tidak
memiliki masa depan yang cerah. Sebaliknya,yang dimiliki siswa, dari gurunya
adalah aspek pengetahuan belaka dengan masa depan yang hampa dan
gelap.
Bila kita berkunjung ke sekolah-sekolah dan duduk di ruangan majelis guru ,
nyaris kita tidak akan menemukan standar etika dan perilaku guru-guru itu
sebagaimana yang kita harapkan. Yang didapati sebagian sibuk mengerumpi,
tertawa terbaha-bahak.Marah-marah terhadap rekan kerja. Tidak mau tahu
dan tidak mau ambil peduli. Berkata kasar dan kurang sopan. Parahnya tabiat ini
pun dipindahkan ke dalam kelas manakala ia mengajari siswanya. Ia
menjadi diktator yang tidak terikat oleh perilaku dan nilai-nilai kebaikan.
Dibelakang atau diluar kelas, anak –didiknya sudah pasti akan berbuat serupa
pula.
Seorang guru, mesti punya standar etika baik ketika berada di dalam kelas
atau dilingkungan sekolah. Sebab, guru, yang harus ditiru itu bukanlah sekedar
mendapatkan pengetahan darinya, juga satu saat siswanya akan meniru
tabiat dan perilakunya sebagai sebuah contoh yang sama.
Ini pula yang menjadi
sisi kelemahan guru-guru sekarang yang menafikan standar etika guru.
Menganggap itu tidaklah penting. Ia berkata sesukanya, bertingkah semaunya,
seolah itu bukanlah sesuatu bentuk media pengajaran kepada siswanya. Pepatah
lama yang mengatakan, guru kencing berdiri murid kencing berlari
merupakan bentuk pelajaran perilaku yang telah terbukti kebenarannya sampai
sekarang.
Tidaklah heran bila
kita melihat, guru-guru yang kurang lapang hatinya, tidak ikhlas
mengajar, tidak penyayang dan tidak pula penyabar akan membentuk generasi yang
lebih jelek perilaku nya daripada perilaku guru masa itu.
Bila guru hari ini begitu mudah mengeluh sudah tentu keluhan anak
didiknya lebih keras daripada itu. Memang yang dikeluhan para guru itu
adalah soal materi (gaji) yang selalu diumpat-umpatkan, kepada
kepala sekolah dan kepada pemerintah (termasuk kepada kepala daerah), anak
didiknya tentu membuat keluhan yang macam-macam, karena gurunya saja juga
mengeluh. Dari sini, sebuah sekolah tidak akan bisa
melahirkan siswa-siswa pemimpi yang punya cita-cita tinggi, sebaliknya
memproduksi siswa yang terbelakang motivasi diri dan mental mereka,
lantaran sekolah itu dihuni oleh guru-guru pengeluh.
Potret guru kita
bukanlah tipikal motivator pula yang menegakkan kemauan siswanya.
Guru kita tidak pernah mendorong siswanya untuk berbuat lebih baik dalam
perilaku, kesantunan dan kesopanan. Perilaku guru kita memang sudah terbelah
kepada perilaku guru yang mengedepankan sisi egoisme diri. Kasarnya selalu
berbicara gaji dan sarana prasarana.
Seharusnya para guru
sekarang, harus belajar kepada semangat Ibu muslimah, seorang guru yang
mengabdi di Pelosok Desa, di Belitung, yang mengorbitkan mimpi muridnya
di SD Muhammadiyah Belitung yang dikemudian hari menjadi orang
besar,sebagaimana model pendidikan dan penagajarannya dapat kita saksikan di
novel Laskar pelangi, karya Andera Hirata.
Sebenarnya seorang
guru sejati itu, harus memiliki empat aspek diatas secara sempurna. Untuk
mendapatkan empat hal diatas, harus berpijak dari keinginan dirinya
sendiri mengabdi menjadi seorang pendidik adalah berangkat dari
hati sanubari terdalam yang kemudian melahirkan niat keikhlasan untuk
mengajar. Dari sinilah, akan mengalirkan motivasi dan mimpi-mimpi
yang akan disambungkannya kepada anak muridnya.
Seorang guru sejati yang
memiliki motivasi tinggi pasti tidak pernah mengeluh. Dengan segala kondisi dan
suasana ia akan belajar mencintai dan memiliki rasa sayang yang tinggi
pula kepada anak didiknya. Mengajari mereka tentang keutamaan kesantunan
sebelum mengisi pengetahuan. Senantiasa menjaga diri dari
perilaku-perilaku buruk karena kalau itu dilakukan, boleh jadi akan menjadi
pembenaran bagi siswanya untuk kemudian ditiru pula. Guru sejati, selalu
mewarnai hidupnya dengan kata-kata spirit motivasi dimana pun berada.
Menunjukkan tindakan terpuji, membantu siapa saja, tida pelit dan tidak kikir.
Dan menakjubkan selama dua puluh empat jam adalah hari-hari dimana ia berperan
bak air keran yang selalu menawarkan budi kepada siapa saja dengan tidak kenal
lelah.
Sayang guru sejati itu kini
telah hilang, seiring biasnya standar etika dan perilaku guru yang ditelan
nafsu materialistik. Dan pekerjaan guru tidak lebih sebagai buruh pendidikan
yang tidak harus terikat dengan sederatan aturan dan norma kebaikan. Guru pun,
sekali lagi tak obah seperti buruh. Kering dari keihklasan pengabdian, bekerja
diukur dari pendapatan, status profesi terikat dengan jam mengajar dan defenisi
guru pun berubah, bukan sebagai tenaga pendidik, melainkan tenaga pengajar,
yang bertumpu diatas pengetahuan. Ketahuilah mendidik tidak sama mengajar,
tetapi dalam mendidik ada pengajaran dan tidaklah selama mengajar itu ada unsur
mendidik. Mendidik adalah , memandu dari perilaku diri untuk bersama-sama
ditiru, tentu ada muatan etika dan perilaku, sedangkan mengajar hanya
mentransferkan pengetahuan semata tanpa ada kaitannya dengan perilaku dirinya
apalagi diri siswanya.
Oleh ade firmansyah.