Jumat, 30 Maret 2012

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP MAHAR MUQODDAM (YANG DIBERIKAN SEBELUM AKAD PERNIKAHAN)

A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang bersumber dari Al Qur’an, meliputi pengaturan semua aspek kehidupan manusia, baik pengaturan hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan mahluk dengan khalik (حبل من الله), maupun pengaturan hubungan antar mahluk (حبل من الناس) diantaranya pernikahan yang telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina antar manusia keluarga yang Islami, dan juga perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk menikah, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan).
Pernikahan merupakan salah satu ajaran agama islam yang memiliki nilai keutamaan mempunyai tujuan yang paling mulia yaitu mewujudkan sebuah keluarga yang dihiasi rasa cinta dan kasih sayang. Yang sesuai dengan firman Allah SWT :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dan jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(Q.S. al-Rum : 21).

Ayat di atas menerangkan tujuan perkawinan yaitu untuk menciptakan ketentraman saling cinta dan kasih sayang dan merupakan tiang pokok penyangga bangunan keluarga dan rumah tangga, bila salah satunya tak ada goyahlah sendi-sendi kekuatan bangunan rumah tangga tersebut.
Pertama : “litaskunu ilaiha” yaitu sakinah, ketenangan, ketentraman, saling cinta dan kasih sayang agar suami tenang dan tentram, kewajiban istri berusaha menenangkan dan menentramkan suami.
Kedua : “mawadah” atau saling mencintai. Cinta bersifat subjektif yaitu untuk kepentingan orang yang mencintai, namun bukan sekedar cinta, sebab kalau hanya cinta seorang wanita yang mengucapkan “aku cinta padamu” berpuluh kali dalam satu malam, kemudian esok malam ia mengucapkan kata yang sama kepada pria lain dan seterusnya, wanita yang demikian tidak lebih dari wanitasusila. Cintanya hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Ketiga : “rahmah” yaitu kasih sayang yang besifat obyektif, yakni kasih sayang untuk kepentingan orang yang dikasih sayangi. Kasih sayang inilah yang harus menjadi landasan bagi cinta. Cinta makin lama makin berkurang sedangkan kasih sayang makin lama makin kuat dan mantap. Cinta hanya mampu bertahan pada saat perkawinan masih dianggap baru atau muda sedangkan selanjutnya kasih sayanglah yang mendominasi cinta.
Disamping itu pula, sebuah pernikahan mempunyai tujuan yang diinginkan oleh setiap orang yaitu lahirnya generasi penerus (anak) yang akan meneruskan perjuangan orang tua, agama bangsa dan negara. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:


Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah."(Q.S. Al-Nahl:72)

Dari ayat diatas menerangkan bahwa perkawinan bukanlah sekedar melampiaskan hasrat seksual, akan tetapi ada keingian tujuan yang dicapai diantaranya:
1. Menjaga diri dari yang haram.
2. Mencari keridhaan Allah dengan memperoleh anak demi mempertahankan kelangsungan jenis manusia.
3. Mencari keridhaan Rasulullah SAW dengan memperbanyak keturunan, umat beliau yang kelak pada hari kiamat akan menjadi kebanggaannya di antara umat-umat lain.
4. Mengharapkan berkah dari do’a anak-anakanya yang saleh sepeninggalnya.
5. Mengharapkan syafa’at dari anaknya apabila meninggal dunia sebelumnya, yakni ketika belum mencapai usia dewasa.
Untuk mencapai ketentraman, saling cinta, dan kasih sayang dalam rumah tangga diperlukan saling menghormati dan memahami satu sama lain, begitu pula antara suami dan istri harus ada saling pengertian satu sama lain diantaranya memenuhi hak dan kewajibannya. Salah satu kewajiban suami terhadap istrinya adalah memberikan mahar terhadap istrinya. Ini adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan oleh seorang suami.
Mahar merupakan salah satu keistimewaan Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusan dan memiliki sesuatu (yaitu mahar), mahar disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 4 yang berbunyi

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.(Q.S al-Nisa :4).

Maksudnya, berikanlah mahar kepada para istri sebagai pemberian wajib, bukan pembelian atau ganti rugi. Mahar dalam Islam bukan sebagai adat kebiasaan seperti pada zaman Jahiliyah, hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan sehingga walinya semena-mena dapat menggunakan hartanya dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya serta menggunakannya. Islam datang dan menghilangkan belenggu ini. Istri diberi hak mahar. Suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya, bukan kepada ayahnya. Orang yang paling dekatpun tidak dibenarkan menjamah sedikitpun harta bendanya tersebut kecuali dengan ridhanya dan kemampunnya sendiri.
Mahar atau maskawin dalam Islam merupakan pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dalam perkawinan. Mahar ini lalu menjadi milik perempuan itu sendiri, Islam telah mengangkat derajat kaum perempuan, karena mahar itu diberikan sebagai tanda penghormatan kepada kaum perempuan. Pelaksanaan membayar mahar dilakukan pada akad pernikahan berlangsung disebut dengan kontan dan bisa dengan hutang.
Andai kata mahar atau maskawin itu diberikan sebelum akad pernikahan atau yang dikenal dengan istilah Arabnya dengan Mahar Muqoddam yaitu mas kawin yang diberikan calon suami kepada calon istri sebelum akad pernikahan dilangsungkan. Apakah kedudukan akad pernikahan terhadap mahar yang diberikan sebelum akad pernikahan berlangsung sama dengan mahar kontan, hutang atau hadiah. Untuk mengkaji dan menjawab masalah ini penulis mencoba mengkaji dari tinjauan Hukum Islam.
Berangkat dari permasalahan di atas, penulis mencoba mengkaji masalah tersebut dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan memberi judul skripsi. “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP MAHAR MUQODDAM (YANG DIBERIKAN SEBELUM AKAD PERNIKAHAN)”

B. Perumusan masalah
Berititik tolak dari permasalahan di atas, secara umum penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Kedudukan Mahar dalam Pernikahan?
2. Bagaimanakah Kedudukan Mahar Muqoddam dalam Aqad Pernikahan?
3. Bagaimanakah Tinjauan Hukum Islam terhadap Mahar Muqoddam?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulis skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Kedudukan Mahar dalam Pernikahan.
2. Untuk mengetahui Kedudukan Mahar Muqoddam dalam Aqad Pernikahan.
3. Untuk mengetahui Tinjaun Hukum Islam terhadap Mahar Muqoddam


D. Kerangka Pemikiran
Mahar atau shodaaq atau shidaaq adalah maskawin yang termasuk wajib dalam pelaksanaan akad nikah, dan suatu perlindungan dan kehormatan yang diberikan oleh Islam bagi wanita ialah hak untuk memiliki.
Allah SWT, memuliakan seorang perempuan dalam firman-Nya:
…     ...
“...Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut…” (An-Nisa : 25)


Ayat diatas menjelaskan bahwa menghendaki mereka dengan harta (mas kawin), untuk dikawini, bukan untuk perbuatan jahat, maka istri yang telah dinikmati (campuri) diantara mereka, maka bayarlah mas kawinnya sebagai yang telah ditentukan.

Mahar atau maskawin ialah pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib yang tidak dapat diganti dengan lainnya. Maskawin itu wajib dengan ikatan perkawinan (akad nikah), walaupun suami itu tidak menyebutkan mas kawin dan tiada bersetubuh. Dan mungkin bahwa maskawin itu tiada sekali-kali harus, kecuali bahwa diharuskan oleh manusia atas dirinya dan ia bersetubuh dengan istrinya dan walaupun ia tidak menyebutkan mas kawin
Mahar sebagai bagian dari kajian fiqih, di dalamnya terdapat pemahaman-pemahaman hukum Islam dalam beberapa hal, termasuk masalah pelaksanaan pembayaran mahar yang diberikan terlebih dahulu. Biasanya pelaksanaan pembayaran mahar dilaksanakan pada waktu akad berlangsung Jadi, mahar biasanya disepakati terlebih dahulu antara kedua pihak. Hal ini untuk menghindari hal-hal yang menyulitkan kalau mahar itu tidak sepakati sebelumnya sama seperti kebiasaan masyarakat kita. Penentuan mahar hendakalah berdasarkan kesederhanaan, tidak berlebihan apalagi menunjukkan kemewahan. Hal ini karena pada hakikatnya maskawin adalah penyerahan diri seorang istri bagi siapa yang memberinya maskawin. Maskawin walaupun hak wanita, hendaklah hak itu dipertimbangkan matang-matang agar tidak memberatkan calon suaminya.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, diperlukan adanya tinjaun yang luas dan mendalam. Dengan tinjau hukum Islam diharapkan akan diketahui jawaban atas masalah tersebut, yang lebih luas dan membuktikan bahwa hukum Islam bersifat dinamis yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi di atas permasalahan.
E. Metode Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan langkah-langkah dan metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data, Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode;
- Penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan meneliti literatur yang ada relevansinya dengan pembahasan masalah yang diteliti, bahwa penelitian kepustakaan meliputi buku-buku, majalah-majalah dan kitab-kitab kuning.
2. Pengolahan Data
- Dalam pengolahan data penulis menggunakan analisis deduktif dan analisis induktif. Analisis deduktif yaitu berangkat dari kesimpulan yang bersifat umum berupa (teori, konsep) dibahas dengan melihat fakta-fakta, data-data khusus. Sedangkan analisis induktif berangkat dari fakta-fakta atau data-data khusus kemudian disimpulkan menjadi kesimpulan yang bersifat umum.
3. Teknik penulisan, dalam penyusunan skripsi ini penulis berpedoman pada;
- Buku pedoman penulisan Karya Ilmiah FSEI IAIN “SMH” Banten tahun: 2009.
Al-Qur’an dan terjemahannya : Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2004.
- Penulisan hadits; penulis mengambil dari sumber aslinya dan apabila tidak
diketemukan maka penulis mengambil dari buku dimana hadits tersebut dicantumkan.




F. Sistematika Pembahasan
Dalam penyusunan skripsi ini sistematika pembahasan yang digunakan meliputi beberapa bab, kemudian tiap-tiap bab dibagi menjadi beberapa sub. Adapun sistematika pembahasan tersebut adalah sebagai berikut:
Bab Pertama : Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, dan sistematika
pembahasan.
Bab Kedua : Sejarah lahirnya hokum Islam yang meliputi dalil dan sumber
hokum Islam, prinsip dan tujuan hokum Islam dan sejarah dan
pertumbuhan hokum Islam
Bab Ketiga : Kajian Teoritis tentang mahar yang meliputi definisi mahar dan
Hukum Mahar, waktu memberikan mahar, mahar kontan dan
hutang dan Hikmah memberikan mahar
Bab Keempat : Tinjauan Hukum Islam terhadap mahar muqoddam yang meliputi
kedudukan mahar dalam pernikahan, kedudukan kedudukan
mahar muqoddam dalam aqad pernikahan, dan tinjaun Hukum
Islam Terhadap Mahar Muqoddam,
Bab. Kelima : Penutup yang meliputi : kesimpulan dan saran-saran.

Rabu, 28 Maret 2012

PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAI ( Time Assisted Individualization ) BERBASIS CTL TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIKA SISWA SMP

A. PENDAHULUAN
Guru sebagai pemangku pelaksana kegiatan belajar mengajar di kelas tentunya memiliki peran penting dalam mewujudkan suasana belajar mengajar sehingga siswa dapat mengembangkan segala potensi yang dimilikinya, yang diperlukan dirinya dan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan interaksi antara siswa dan guru pada saat kegiatan belajar mengajar, kegagalan guru dalam menyampaikan suatu pokok bahasan besar dikarenakan pada saat kegiatan belajar mengajar guru kurang membangkitkan perhatian, aktivitas dan kemampuan siswanya untuk mampu berpikir sehingga dampaknya proses pembelajaran hanya menjadi suatu bentuk kegiatan yang kurang memiliki peranan apa-apa.
Begitu pula dengan mata pelajaran matematika, tidak dapat dipungkiri hingga saat ini mata pelajaran matematika masih menjadi mata pelajaran yang menakutkan, dimana siswa tidak memahami apa yang sedang dipelajarinya. Padahal seperti diketahui matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang harus dipelajari siswa baik dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi sekalipun. Sulit atau tidaknya pelajaran matematika sebenarnya juga tergantung bagaimana kesiapan siswa dalam menerima materi yang ada. Sehingga guru dituntut untuk meyakinkan siswa bahwa pelajaran matematika bukanlah mata pelajaran yang menakutkan. Guru haruslah membawa siswa dalam situasi belajar yang menyenangkan dan mampu mengarahkan siswa akan pentingya matematika dalam kehidupan sehari-hari. Siswa perlu disadari bahwa dengan keberhasilannya mempelajari matematika akan membawanya membuka pintu karier yang cemerlang. Para ahli dan pemikir matematika banyak menegaskan bahwa pemahaman matematika yang utuh tidak hanya sekadar mencakup pengetahuan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan struktur matematika. Pemahaman matematika yang utuh meliputi penggunaan kapasitas dalam proses berpikir matematika yang meliputi mencari dan menemukan pola untuk memahami struktur matematika, menggunakan sumber dan alat secara efektif dalam merumuskan dan menyelesaikan masalah, memahami ide matematika dan juga berpikir matematika. Berpikir matematika merupakan suatu proses untuk memperoleh informasi, pengolahan dan penyimpanan kembali informasi matematika dari ingatan siswa. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kemampuan berpikir matematika peserta didik dewasa ini masih sangat rendah, baik itu berpikir matematika tingkat rendah ( Lower Order Thinking ) apalagi berpikir matematika tingkat tinggi ( Higher Order Thinking ).
Berpikir matematika tingkat rendah yang meliputi tiga aspek pertama dari ranah kognitif yaitu aspek pengetahuan, pemahaman dan aplikasi Bloom (Rusffendi, 1991:200)), lebih menekankan tentang soal-soal rutin yang perhitungannya masih menggunakan operasi hitung sederhana, menerapkan rumus matematika secara langsung ataupun mengikuti algoritma yang sudah ada, padahal sejatinya siswa dituntut dan dihadapkan juga untuk dapat melakukan perhitungan yang alur tindakannya tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya, cenderung kompleks, bahkan sering kali menghasilkan banyak solusi, melibatkan pertimbangan dan interpretasi bahkan juga aktivitas mental yang tinggi.  Pembelajaran di kelas kurang dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan kurang terkait langsung dengan kehidupan nyata sehari-hari ( kurang penerapan, kurang membumi, kurang realistik, ataupun kurang kontekstual, Shadiq (2007). Koneksi matematika sebagai salah satu komponen berpikir tingkat tinggi merupakan salah satu kemampuan yamng harus dicapai dalam pembelajaran matematika, dengan mengetahui hubungan matematika siswa akan lebih mudah memahami matematika dan juga memberikan daya matematik yang lebih besar. Dimana dengan kemampuan koneksi matematika yang dimiliki siswa, hal ini akan memberikan arti penting bagi kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi siswa. Dengan adanya kemampuan koneksi matematika, siswa dapat menghubungkan antara situasi masalah yang muncul di dalam dunia nyata atau dalam ilmu lain dengan materi yang pernah diajarkan, selain itu siswa juga dapat menghubungkan antara dua materi yang memiliki kesamaan, NCT    M ( 1989 ). Kemampuan koneksi matematika mengacu pada empat pilar pendidikan yang disarankan oleh UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning live together in peace and harmony. Keempat pilar tersebut menerangkan bahwa dengan empat pilar tersebut nantinya siswa akan memiliki pemahaman dan penalaran akan matematika dari hasil dan proses yang terkoneksikkan, dari mana asal muasal konsep, dan ide matematika terbentuk. Melalui proses mengetahui akan matematika, siswa akan memiliki potensi untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari atau bidang studi lainnya. Selanjutnya dengan melakukan akan memberikan kesempatan pada siswa untuk terampil dalam mengkoneksikan antara pengetahuan yang sudah dimiliki dengan pengetahuan baru, sehingga dalam benaknya akan tercipta bahwa ide-ide/ konsep matematika terjalin dari suatu hubungan yang erat dan tidak dapat terpisah atau berdiri sendiri. Learn to be terkait dengan learn to do, dimana siswa akan memahami, menghargai atau mempunyai apresiasi terhadap nilai-nilai keindahan akan produk dan proses terbentuknya matematika. Sedangkan pilar keempat menandakan peserta didik akan diberi kesempatan untuk belajar secara berkelompok, bekerja sama, bertukar pikiran, sharing dan saling menghargai. Sumarmo (2004 : 9 )
Pembelajaran matematika yang ada di kelas seperti diketahui masih didominasi oleh metode pembelajaran konvensional, dimana guru merupakan pusat informasi dan peserta didik sebagai penerima informasi. Guru menyampaikan informasi dengan metode ceramah yaitu suatu interaksi melalui penerangan dan penuturan lisan dari guru kepada peserta didik. Dalam pelaksanaan ceramah peserta didik kadang salah menafsirkan informasi yang didapatnya hal ini dimungkinkan karena guru kurang pandai menyampaikan informasi dan mungkin karena peserta didik bukan pendengar yang baik,Syaiful Sagala ( 2008 : 201). Pada pembelajaran konvensional peserta didik cenderung menerima informasi saja, peserta didik cenderung belajar secara individual, pembelajaran cenderung abstrak dan teoritis, perilaku dibangun atas kebiasaan, keterampilan dikembangkan atas dasar latihan, dan bahasa diajarkan dengan pendekatan struktural.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk dapat membuat siswa memiliki kemampuan koneksi matematika siswa harus dilibatkan secara aktif, dimana pembelajaran haruslah  berpusat pada siswa ( student centerd ) agar siswa dapat belajar dan mengalami, bukan lagi berpusat kepada guru ( teacher centered ) yang lebih banyak membuat siswa menerima informasi bersifat abstrak dan teoritis. Telah dipaparkan juga sebelumnya kemampuan koneksi matematika haruslah dimiliki siswa, sehingga akhirnya siswa dapat menghubungkan suatu materi matematika dengan materi lainnya, matematika dengan bidang ilmu lain, dan juga matematika dengan kehidupan sehari-hari. Tentunya diperlukanlah suatu metode pembelajaran yang dapat mengakomodasi ketiga aspek tersebut yang memusatkan pembelajaran kepada siswa. Pembelajaran kontekstual ( Contectual Teaching & Learning ) merupakan metode pembelajaran yang memiliki beberapa karakteristik yaitu siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran, siswa belajar dari teman, kelompok, diskusi dan saling mengoreksi (learning community), pembelajaran dihubungkan dengan kehidupan nyata atau masalah, perilaku peserta didik dibangun atas kesadaran diri, keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman, dan bahasa yang diajarkan dengan pendekatan komunikatif dimana siswa diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata ( Authentic Assessment), sehingga memudahkan siswa dalam mengkoneksikan materi yang didapatnya ke dalam materi lain, bidang ilmu lain dan juga kehidupan sehari-hari. Dengan demikian mengelompokkan siswa pada saat belajar adalah langkah yang baik sebab sesuai dengan komponen yang ada pada pembelajaran kontekstual bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri. Model pembelajaran kooperatif dapat diterapkan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu materi pelajaran selain itu siswa dituntut untuk dapat mengorganisasikan pengalaman belajarnya dalam kelompok, karena di dalamnya terdapat aktivitas siswa untuk pembentukkan kognitif siswa yang dapat mewujudkan pencapaian akademik yang lebih tinggi, afektifitas dalam pemecahan masalah, dan meningkatkan penggunaan keterampilan berpikir tingkat tinggi, Hapipah ( 2004 : 2). Masih dalam Hapipah ( 2004 : 2), pembelajaran kooperatif dibedakan dalam beberapa tipe slavin yaitu :
a.    Student Team Achievement divisions (STAD)
b.    Team Games Tournamen (TGT)
c.    Numbered Head Togeth NHT)
d.    Trade A-Problem (TAP)
e.    Trade A-investigasi/ Time Assisted Individualization (TAI)
f.    Jigsaw
Pada penelitian ini peneliti memilih model pembelajaran tipe TAI (Time Assisted Individualization) untuk digabungkan dengan pembelajaran kontekstual sebagai komponen masyarakat belajar ( learning community ). Sebab, dalam model pembelajaran TAI (Time Assisted Individualization) pembelajaran ditekankan pada efek sosial dari belajar kooperatif, dimana pembelajaran ini disusun untuk memecahkan masalah semisal kesulitan belajar siswa secara individual. Pada model pembelajaran TAI (Time Assisted Individualization) ada tidaknya peningkatan pembelajaran siswa didasarkan pada penilaian sebenarnya yang sesuai dengan salah satu komponen pembelajaran kontekstual. Pada pembelajaran TAI (Time Assisted Individualization)  siswa terlebih dahulu dihadapkan pada  tes awal yang dilakukan untuk melihat seberapa besar pemahaman matematika siswa yang pengaruhnya akan terlihat setelah siswa melakukan diskusi kelompok. Karena pada pembelajaran kontekstual siswa dihadapkan pada masalah sehari-hari atau dunia nyata, begitu pula dengan pembelajaran kooperatif TAI ( Time Assisted Individualization ) dengan pembelajaran berkelompok pada TAI ( Time Assisted Individualization )  diharapkan akan terciptanya masyarakat belajar ( learning community ) yang saling membantu mengatasi kesulitan yang mereka rasakan dan juga penilaian sebenarnya individu ( Authentic Assessment ), dengan perpaduan kontekstual dan kooperatif inilah akan membantu guru untuk mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa mampu membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari ( koneksi matematika ) dan hasil akhirnya mereka memiliki kemampuan tersebut murni karena hasil belajarnya. Apalagi untuk siswa yang masih berada pada tahap perkembangan otak dari tahap pemikiran konkret ke abstrak, seperti siswa-siswa SMP ( Sekolah Menengah Pertama ), mereka akan kesulitan memiliki kemampuan koneksi matematika apabila pembelajaran yang digunakan di sekolah hanyalah transfer informasi saja, mereka tidak akan belajar menggalami dan memahami, mereka mungkin hanya akan tahu cara pengerjaanya tanpa tahu dari mana asal muasal konsep matematika tersebut dan apa perananya bagi kehidupan nyata mereka, sebab mereka akan sangat sulit membayangkan seperti apa wujud dari konsep matematika yang diajarkannya, apabila tidak ada model yang tepat untuk menggambarkan konsep tersebut. Melihat kenyataan yang ada di atas peneliti termotivasi untuk meneliti pembelajaran kooperatif TAI berbasis CTL yang berjudul :
PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAI ( Time Assisted Individualization ) BERBASIS CTL TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIKA SISWA SMP
B. IDENTIFIKASI MASALAH, PERUMUSAN DAN PEMBATASAN MASALAH
    1. Identifikasi Masalah
    Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka dapat diidentifikasikan masalah yang timbul antara lain :
1.    Kemampuan siswa dalam berpikir matematika tingkat tinggi masih sangat rendah.
2.    Adanya kesulitan siswa dalam menghubungkan suatu konsep matematika dengan konsep matematika lainnya, konsep matematika dengan bidang ilmu lain dan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari.
3.    Model pembelajaran yang kemungkinan tidak tepat dipergunakan guru.
4.    Pembelajaran matematika cenderung abstrak dan teoritis.
2. Perumusan Masalah
    Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah maka permasalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.    Apakah ada perbedaan kemampuan aspek koneksi matematika siswa SMP yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TAI ( Time Assisted Individualization ) berbasis CTL dengan pembelajaran konvensional ?
2.    Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematika siswa SMP antara yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TAI ( Time Assisted Individualization ) berbasis CTL dengan pembelajaran konvensional ?
3.    Bagaimanakah sikap yang ditunjukkan siswa SMP antara yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TAI ( Time Assisted Individualization ) berbasis CTL dan yang menggunakan pembelajaran konvensional ?
3. Pembatasan Masalah
    Agar penelitian nantinya lebih efektif, terarah dan dapat dikaji maka diperlukannya    pembatasan masalah. Dalam penelitian ini difokuskan pada hal-hal berikut :
1.    Metode pembelajaran yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah Kooperatif tipe TAI ( Time Assisted Individualization )  berbasis CTL.
2.    Kemampuan koneksi matematika siswa dalam pembelajaran dilihat dari hasil belajar siswa pada materi Himpunan, dengan indikator keberhasilan yang digunakan menurut pendapat Ulep, dkk.
C. TUJUAN PENELITIAN
Sejalan dengan apa yang telah dipaparkan dalam rumusan masalah pada dasarnya penelitian ini adalah untuk :
1.    Menelaah, membandingkan dan mendeskripsikan perbedaan kemampuan menurut aspek koneksi matematika antara siswa SMP yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TAI ( Time Assisted Individualization )  berbasis CTL maupun pembelajaran konvensional.
2.    Menelaah, membandingkan dan mendeskripsikan perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematika siswa SMP yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TAI ( Time Assisted Individualization ) berbasis CTL maupun pembelajaran konvensional.
3.    Menelaah dan mendeskripsikan sikap yang ditunjukkan siswa SMP antara yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TAI( Time Assisted Individualization )   berbasis CTL dan yang menggunakan pembelajaran konvensional.
D. MANFAAT PENELITIAN
1.    Bagi pembelajaran matematika
        Dengan diangkatnya penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan bagi pembelajaran matematika, khususnya untuk meningkatkan kemapuan berpikir matematika tingkat tinggi.
2.    Bagi sekolah
        Dapat menjadi masukkan bagi sekolah yang dijadikan objek penelitian dalam upaya     meningkatkan mutu dan kemampuan matematika siswanya dalam memahami mata pelajaran matematika.
3.    Bagi guru
        Dapat menjadi masukkan bagi guru mata pelajaran matematika untuk dapat memperbaiki kegiatan belajar mengajarnya di kelas dengan memilih model pembelajaran yang lebih sesuai untuk suatu materi, serta  mengarahkan guru untuk dapat mencoba dan menyesuaikan model-model pembelajaran lain untuk materi matematika lainnya dan lebih memperhatikan pencapaian aspek kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam pembelajarannya.
4.      Bagi peserta didik
    Dengan diangkatnya penelitian ini diharapkan nantinya siswa mampu menghubungkan konsep matematika dengan konsep matematika lainnya, bidang ilmu lain dan dalam kehidupan sehari-hari, serta siswa secara sadar berminat mengikuti kegiatan belajar matematika
5.    Bagi penelitian selanjutnya
    Hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya yang mengangkat tema penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
6.    Bagi penulis
    Hasil penelitian ini nantinya dapat menjadi bahan masukkan  agar nantinya peneliti siap menjadi guru yang professional dan inovatif dalam mengajarkan mata pelajaran matematika kepada siswa.
E.  DEFINISI OPERASIONAL ISTILAH
    Agar penelitian ini sesuai dengan tujuan yang diharapkan dan untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman maka perlu diberikannya definisi operasional yaitu :
1.    Pembelajaran
    Pembelajaran ( Learning ) ialah kegiatan guru secara terprogram dalam daerah instruktural untuk membuat siswa belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Pembelajaran merupakan komunikasi dua arah. Mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagain pendidik, dan belajar dilakukan oleh peserta didik atau siswa.
2.    Model Kooperatif TAI ( Time Assisment Individualization) 
    Suatu model pembelajaran dimana siswa secara individual belajar materi pelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru, lalu hasil belajarnya di bawa ke kelompok-kelompok, dimana semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama.

3.    Pendekatan Contextual Teaching and Learning ( CTL )
    Suatu pendekatan belajar dan mengajar yang pembelajarannya dikaitkan dengan dunia nyata seperti mata pelajaran lain selain matematika, bidang ilmu lain yang berbeda dengan matematika, kehidupan sehari-hari dan lingkunga sekitar.

4.    Kemampuan
        Kemampuan disebut pula dengan kompetensi. Kemampuan merupakan segala sesuatu yang dimiliki siswa, dan merupakan kompenen utama yang harus dirumuskan dalam pembelajaran.

5.    Koneksi Matematika
    Suatu kemampuan yang harus dicapai dalam pembelajaran matematika, dimana siswa dapat menghubungkan suatu konsep matematika yang didapatkan dengan konsep matematika lainya, dengan bidang ilmu lain dan dengan kehidupan sehari-hari.
F.  KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI
1. Kajian Pustaka
    Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan acuan dari beberapa penelitian terdahulu yang masih memiliki keterkaitan dengan tema yang peneliti ambil. Penelitian Rudy Kurniawan ( 2009 : 11 ) yang mengangkat penelitian tentang “ Pembelajaran Dengan Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa SMK “  menghasilkan bahwa ternyata siswa yang menggunakan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual secara signifikan lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya secara tradisional, dimana juga terdapat hubungan yang positif antara sikap dan pengetahuan penunjang terhadap kemampuan koneksi matematik siswa.
    Penelitian yang dilakukan oleh Retna Kusumaningrum ( 2007 : 8 ) yang mengangkat penelitian tentang “Keefektifan Model Pembelajaran TAI ( Team Assisted Individualization ) Melalui Pemanfaatan LKS ( Lembar Kerja Siswa ) “ menghasilkan bahwa model pembelajaran TAI melalui pemanfaatan LKS lebih efektif daripada model pengajaran  langsung .
    Penelitian-penelitian di atas memiliki persamaan dalam hal model pembelajaran yang diambil peneliti, yaitu penggunaan model pembelajaran kontekstual dan juga kooperatif tipe TAI( Time Assisted Individualization ). Penelitian di atas menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran tersebut berpengaruh pada keberhasilan belajar siswa dan juga kemampuan berpikir matematika siswa ( koneksi matematika ). Sehubungan hal diatas, peneliti merasa perlu untuk melihat apakah penerapan kedua model pembelajaran tersebut juga memang mampu memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap kemampuan siswa untuk menghubungkan konsep-konsep matematika yang ada dengan konsep matematika lainnya, konsep matematika dengan bidang ilmu lain dan juga di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
2.    Kajian Teori
1.    Belajar dan Pembelajaran Matematika
1.1    Definisi belajar
Banyaknya pengertian belajar yang diungkapkan oleh para pakar, berbeda anatara satu dengan lainnya akan tetapi mengarah pada suatu kesimpulan yang sama. Menurut Slameto ( 2003 : 2 ) belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan menurut Hamalik ( 2004 : 9 ) di dalam belajar ada suatu perubahan dalam diri seseorang yang dapat dilihat atau dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru karena adanya pengalaman juga latihan. Pada belajar perubahan yang terjadi pada individu yang belajar bukan hanya dilihat dari banyaknya pengetahuan yang didapat tetapi juga terjadinya perubahan dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, dan juga segala hal yang berhubungan dengan pribadi individu ( Nasution : 2009 : 35 ). Belajar dikatakan sukses apabila peserta didik mencapai hasil yang memuaskan, yaitu berupa nilai-nilai dan juga tingkah laku yang bagus dan juga memuaskan. Seseorang yang ingin berhasil dalam belajar maka dia harus mengetahui tentang prinsip belajar. Sebagaimana yang dikemukakan oleh (Anomymous:1984:319) yang meliputi :
1.    Bahwa dalam belajar dibutuhkan dorongan atau motivasi.
2.    Harus dapat memusatkan perhatian,
3.    Untuk lebih menghasilkan penyerapan ilmu, sebaiknya materi yang telah diajarkan harus selalu diulang-ulang.
4.    Harus diyakini bahwa semua yang dipelajari akan berguna kelak.
5.    Dalam belajar perlu adanya istirahat
6.    Hasil belajar dari suatu pelajaran dapat digunakan untuk mempelajari pelajaran lainnya.
7.    Hasil belajar yang telah diperoleh dicoba untuk diutarakan kembali.
8.    Hal-hal yang menghambat pelajaran misalnya : rasa takut, benci, malu, marah dan kesal harus dihindari.
1.2    Pembelajaran matematika
Pembelajaran matematika dikatakan berhasil apabila proses belajarnya baik, yaitu melibatkan intelektual siswa secara optimal, sehingga peristiwa belajar bisa tercapai apabila faktor-faktor seperti siswa dengan guru, prasarana dan sarana serta penilaiaan dikelola dengan sebaik-baiknya, Hudojo ( 1990 : 8 ). Pembelajaran matematika memberikan penekanan pada keterampilan dan penerapan matematika, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam membantu mempelajari ilmu pengetahuan lainnya, Suherman (2003 : 58 ).

2.    Model Pembelajaran Kooperatif
    Menurut Zaini ( dalam Yusti Arini , 2010 ) model pembelajaran adalah pedoman berupa program atau petunjuk strategi mengajar yang dirancang untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran. Pedoman tersebut di dalamnya memuat tanggung jawab guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Semua model pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur penghargaan .
2.1    Definisi kooperatif
Model pembelajaran kooperatif ialah model pengajaran dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok setiap anggota saling bekerjasama dan membantu untuk memahami suatu bahan pembelajaran, Faiq, M  (2010 ).
Pembelajaran kooperatif ialah suatu model pembelajaran yang siswanya belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4-6 orang, dengan struktur kelompok yang heterogen. Rahardi ( dalam Hapipah, 2004 : 9 ).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Setiap siswa yang ada dalam kelompok memiliki tingkat kemampuan yang berbeda-beda ( tinggi, sedang, rendah ). Model pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
2.2    Prinsip dasar dan karakteristik model pembelajaran kooperatif
2.2.1    Prinsip dasar model pembelajaran kooperatif
    Prinsip dasar dalam model pembelajaran kooperatif menurut Johnson & Johnson ( dalam Yusti Arini, 2010 ) adalah sebagai berikut :
1.    Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya.
2.    Setiap anggota kelompok harus mengetahui bahwa semua anggota kelompok mempunyai tujuan yang sama.
3.    Setiap anggota kelompok harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya.
4.    Setiap anggota kelompok akan dikenai evaluasi.
5.    Setiap anggota kelompok berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
6.    Setiap anggota kelompok akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

    Prinsip dasar dalam model pembelajaran kooperatif menurut Wina Sanjaya ( 2008 ) adalah sebagai berikut :
1.    Adanya ketergantungan positif, dimana dalam pembelajaran kelompok keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung kepada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompoknya, sehingga semua anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan.
2.    Tanggung jawab perseorangan, setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawan sesuai dengan tugasnya.
3.    Interaksi tatap ,uka, pembelajaran kooperatif memberikan ruang dan kesempatan yang luas setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan.
4.    Partisipasi dan komunikasi, pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi.
2.2.2    Karakteristik model pembelajaran kooperatif
    Karakteristik model pembelajaran kooperatif menurut Nur ( 2001 : 3 ) dalam ( Wahyu, dkk : 2010 ) adalah sebagai berikut :
1.    Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
2.    Kelompok dibentuk dari beberapa siswa yang memiliki kemampuan berbeda-beda, baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
3.    Penghargaan lebih menekankan pada kelompok daripada masing-masing individu.
2.3 Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif
    Ada enam langkah model pembelajaran kooperatif menurut Ibrahim,dkk ( 2000 : 10 ) sebagai berikut :

    Fase    Tingkah Laku Guru
1.    Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa    Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa untuk belajar.
2.    Menyajikan informasi    Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan memberikan informasi lewat bahan ajar yang ditentukan guru.
3.     Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar    Guru memimpin pembentukkan kelompok belajar dan membantu setiap kelompok  agar melakukan transisi secara efisien.
4.    Membimbing kelompok  bekerja dan belajar    Guru membimbing kelompok bekerja dan belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
5.    Evaluasi dan pemberian umpan balik    Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang sedang dipelajari, dan memberikan umpan balik seperti bertanya.
6.     Memberikan penghargaan    Guru mencari cara-cara untuk menghargai usaha mereka dan juga hasil belajar individu mereka.
Tabel. 1 Langkah pembelajaran kooperatif
2.4    Perbedaan kelompok belajar kooperatif dengan kelompok belajar konvensional
    Ada beberapa perbedaan pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran konvensional menurut, Abdurrahman (2003:123 ) sebagai berikut :
No.    Pembelajaran Konvensional    Pembelajaran Kooperatif
1.    Adanya dominasi anggota kelompok untuk masuk kedalam kelompok tertentu atau bergantung pada anggota kelompok lain.    Adanya saling ketergantungan positif yang menuntut tiap anggota kelompok saling membantu demi keberhasilan kelompok.
2.    Dalam kelompok belajar ini, akuntabilitas individual sering diabaikan dimana tugas-tugas yang diberikan dikerjakan seluruhnya oleh salah seorang anggota kelompok, sedangkan anggota kelompok lainnya hanya menunggu hasilnya saja.     Adanya akuntabilitas individual dimana tiap anggota kelompok dan kelompok diberikan balikan tentang prestasi belajar anggota-anggotanya sehingga mereka saling mengetahui teman yang memerlukan bantuan, dengan demikian anggota kelompok yang telah menguasai bahan pelajaran akan membantu yang belum menguasai bahan ajar sehingga akan memberikan dampak yang baik bagi keberhasilan kelompok.
3.    Kelompok belajar ini biasanya anggotanya homogen.    Anggota kelompok terdiri dari anak-anak yang berkemampuan atau memiliki karakteristik heterogen.
4.    Pimpinan kelompok biasanya sering ditentukan oleh guru.    Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis.
5.    Kelompok belajar ini tidak menekankan adanya saling membantu dan saling meberikan motivasi kepada sesama  anggota kelompok.    Kelompok belajar kooperatif semua anggota harus saling membantu dan saling memberikan motivasi.
6.    Kelompok belajar ini dibuat untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru.    Kelompok belajar kooperatif penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga pada upaya mempertahankan hubungan interpersonal antar anggota kelompok.
7.    Kelompok belajar konvensional observasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru dalam kelompok belajar.    Pada saat kelompok belajar kooperatif sedang berlangsung, guru terus melakukan observasi terhadap kelompok-kelompok belajar dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerjasama antar anggota kelompok.
8.    Pada kelompok belajar ini guru sering tidak perduli apakah kelompok belajar berjalan dengan baik atau tidak.    Dalam kelompok belajar kooperatif guru memperhatikan keefektifan proses belajar.
Tabel. 2 Perbedaan kelompok belajar kooperatif dengan kelompok belajar konvensional

2.5    Tujuan dan keuntungan pembelajaran kooperatif
2.5.1.    Tujuan pembelajaran kooperatif
    Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran, menurut DEPDIKNAS tujuan pembelajaran tersebut ialah :
1.    Meningkatkan hasil akademik, dimana dengan meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademiknya. Siswa yang lebih mampu akan menjadi narasumber bagi siswa yang kurang mampu, yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama.
2.    Pembelajaran kooperatif memberi peluang agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai perbedaan latar belakang. Perbedaan tersebut antara lain perbedaan suku, agama, kemampuan akademik, dan tingkat sosial.
3.    Mengembangkan keterampilan sosial siswa, seperti berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya.
2.5.2.    Keuntungan pembelajaran kooperatif
    Model pembelajaran kooperatif memiliki beberapa keuntungan, menurut Cooper keuntungan pembelajaran tersebut ialah :
1.    Siswa mempunyai tanggung jawab dan terlibat secara aktif dalam pembelajaran.
2.    Siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
3.    Meningkatkan ingatan siswa.
4.    Meningkatkan kepuasan siswa terhadap materi pembelajaran.

3.    Model Kooperatif Tipe TAI ( Team Assisted Individualization )
3.1    Tipe TAI ( Team Assisted Individualization )
    Pembelajaran kooperatif tipe TAI ( Team Assisted Individualization ) dikembangkan oleh Slavin, tipe ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran imdividual. Tipe pembelajaran ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Tipe pembelajaran ini lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah. Adapun ciri khas dari pembelajaran ini ialah setiap siswa secara individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk mendiskusikan dan membahas tugas yang diberikan guru dimana sebelumnya tugas tersebut telah dikerjakan secara individu dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama ( Yusti arini : 2009 ).
3.2    Komponen dalam model pembelajaran TAI ( Team Assisted Individualization )
Model pembelajaran tipe TAI memiliki delapan komponen, kedelapan komponen tersebut adalah sebagai berikut ialah :
1.    Teams, yaitu pembentukkan kelompok heterogen yang terdiri 4 sampai 5 siswa.
2.    Placement test, yaitu pemberian pre-test kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu.
3.    Student creative, yaitu melaksanakan tugas dalam suatu kelompok dimana keberhasilan individu ditentukan oleh keberhasilan kelompoknya.
4.    Team study, yaitu tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberikan bantuan secara individual kepada siswa yang membutuhkan.
5.    Team score and team recognition, yaitu pemberian score terhadap hasil kerja kelompok dan memberikan kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil secara cemerlang dan kelompok yang dipandang kurang berhasil dalam menyelesaikan berhasil menyelesaikan tugas.
6.    Teaching group, pemberian materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok.
7.    Fact test, pelaksanaan tes-tes kecil berdasarkan fakta yang diperoleh siswa.
8.    Whole - class Units, yaitu pemberian materi oleh guru kembali diakhiri waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah. Suyitno ( dalam Retna Kusumaningrum, 2007 : 19 )
3.3    Pembentukkan dan penghargaan kelompok pembelajaran kooperatif tipe TAI ( Team Assisted Individualization )
3.3.1Pembentukkan kelompok pada pembelajaran kooperatif tipe TAI TAI ( Team Assisted Individualization )
          Cara pembentukkan kelompok berdasarkan kemampuan akademik menurut Slavin dalam ( Widyatini, 2006 : 10 ) ialah sebagai berikut :
Kemampuan    No    Nama    Rangking    Kelompok
Tinggi    1.        1.    A
    2.        2.    B
    3.        3.    C
    4.        4.    D
Sedang    5.        5.    D
    6.        6.    C
    7.        7.    B
    8.        8.    A
    9.        9.    A
    10.        10.    B
    11.        11.    C
    12.        12.    D
Rendah    13.        13.    D
    14.        14.    C
    15.        15.    B
    16.        16.    A
Tabel. 3 Pembentukkan kelompok pada pembelajaran kooperatif tipe TAI TAI ( Team Assisted Individualization )
Guru memberikan penghargaan pada kelompok didasarkan pada perolehan nilai peningkatan hasil belajar dari nilai dasar awal ke nilai kuis/tes setelah siswa bekerja dalam kelompok. Slavin ( dalam Widyantini, 2006 : 9 )

3.3.2.1    Langkah pemberiaan nilai penghargaan kelompok pada pembelajaran kooperatif tipe TAI ( Team Assisted Individualization )
             Cara pemberian nilai penghargaan kelompok menurut Slavin dalam ( Widyatini, 2006 : 10 ) ialah sebagai berikut :
1.    Menentukan nilai dasar awal masing-masing siswa. Nilai dasar awal dapat berupa nilai tes/kuis awal atau menggunakan nilai ulangan sebelumnya. 
2.    Menentukkan nilai tes/ kuis yang telah dilaksanakan setelah siswa bekerja dalam kelompok, semisal nilai kuis I, nilai kuis II atau rata-rata nilai kuis I dan nilai kuis II kepada setiap siswa yang kita sebut nilai kuis terkini.
3.    Menentukan nilai peningkatan hasil belajar yang besarnya ditentukan berdasarkan selisih nilai kuis terkini dan nilai dasar awal masing-masing siswa.
Nilai peningkatan hasil belajar ditentukan oleh kriteria berikut :
Kriteria    Peningkatan
Nilai kuis/tes turun lebih dari 10 poin di bawah nilai awal.    5
Nilai kuis/tes turun 1 sampai 10 poin di bawah nilai awal.    10
Nilai kuis/tes terkini sama dengan nilai awal sampai dengan 10 di atas nilai awal    15
Nilai kuis/tes terkini lebih dari 10 di atas nilai awal    20
Tabel. 4 Kriteria pemberian nilai peningkatan

Penghargaan pada kelompok diberikan berdasarkan nilai peningkatan yang diperoleh masing-masing kelompok dengan memberikan predikat cukup baik, baik, sangat baik, dan sempurna.
Kriteria untuk status kelompok  :
Cukup    Bila rata-rata nilai peningkatan kelompok kurang dari 15 ( Rata –rata nilai peningkatan kelompok < 15 )
Baik    Bila rata-rata nilai peningkatan kelompok antara 15 dan 20 ( Rata –rata nilai peningkatan kelompok 15    nilai peningkatan kelompok   20 )
Sangat baik    Bila rata-rata nilai peningkatan kelompok antara 20 dan 25 ( Rata –rata nilai peningkatan kelompok 20    nilai peningkatan kelompok < 25 )

Sempurna    Bila rata-rata nilai peningkatan kelompok lebih atau sama dengan 25 ( Rata – rata nilai peningkatan kelompok   25 )

Tabel. 4 Kriteria penghargaan untuk status kelompok
3.4    Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe TAI ( Team Assisted Individualization )
1.    Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara individual yang sudah dipersiapkan oleh guru.
2.    Guru memberikan kuis secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar awal atau skor awal.
3.    Guru membentuk beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan ( tinggi, sedang, rendah ) dan jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender.
4.    Hasil belajar siswa secara individual didiskusikan dalam kelompok. Dalam diskusi kelompok, setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu kelompok.
5.    Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.
6.    Guru memberi kuis pada siswa seaca individual.
7.    Guru memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya ( terkini ). Widyantini ( 2006 : 9 )

4.    Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
4.1    Definisi pembelajaran contextual teaching and learning
      Menurut Direktorat SLTP ( dalam Lina Herlina, 2010 : 7 ) pembelajaran kontekstual ( Contextual Teaching and Learning ) ialah suatu model pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata dan memotivasi siswa mengaitkan antara pengetahuan yang dipelajari dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
    Pembelajaran Contextual Teaching and Learning merupakan suatu konsep belajar dan mengajar yang membantu guru menghubungkan kegiatan dan bahan ajar mata pelajaran dengan situasi nyata yang dapat memotivasi siswa untuk dapat menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari siswa sebagai anggota masyarakat di mana dia hidup. US Departement or Educational ( dalam Lina Herlina, 2010 : 7 ).
    Berdasarkan uraian diatas pada dasarnya pembelajaran matematika kontekstual ialah pembelajaran yang terkait dengan dunia nyata, dimana dunia nyata ini bukan hanya terkait kehidupan sehari-hari siswa tetapi juga hal abstrak yang tidak asing lagi bagi siswa. Dunia nyata ialah sesuatu yang terjadi di luar matematika yang dapat meliputi : (1) Mata pelajaran lain selain matematika, (2)  Bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, (3) Kehidupan sehari-hari, (4) Lingkungan sekitar.
4.2    Komponen pembelajaran contextual teaching and learning
    Ada tujuh komponen pembelajaran kontekstual menurut Depdiknas ( dalam Akhmad Sudrajat, 2008 ) yaitu :
1.    Konstruktivisme, artinya bahwa dalam pembelajaran kontekstual siswa diharapkan dapat membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasarkan pengetahuan awal yang mereka punya, selain itu pembelajaran dirancang agar siswa dapat mengkontruksi pengetahuan yang ada bukan menerima pengetahuan.
2.    Inquiry, artinya siswa dituntut untuk menggunakan keterampilan berpikir kritisnya, dimana di dalamnya ada proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman dan siswa diharapkan dapat menemukan suatu konsep baru dari proses yang dilakukan sendiri.
3.    Questioning ( bertanya ), artinya guru diharapkan dapat mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa sehingga siswa dapat menemukan konsep baru.
4.    Learning Community ( Masyarakat Belajar ), artinya pada pembelajaran ini siswa diharapkan dapat bekerja sama dengan orang lain bertukar, pengalaman, dan berbagi ide dalam masyarakat belajar.
5.    Modeling ( Pemodelan ), artinya dalam pembelajaran ini siswa harus diberikan contoh atau model agar siswa dapat berpikir, bekerja dan juga belajar.
6.    Reflection ( Refleksi ), artinya konsep/pengetahuan yang ditemukan dapat direfleksikan seperti mencatat apa yang telah dipelajari, membuat jurnal, karya seni dan diskusi kelompok agar memiliki makna dalam kehidupan siswa.
7.    Authentic Assessment ( Penilaian yang sebenarnya ), artinya pembelajaran yang telah dilakukan siswa harus dinilai berdasarkan kenyataan yang ada seperti menilai tugas-tugas yang relevan dan kontekstual yang dilakukan siswa melalui berbagai macam alat dan jenis penilaian.

4.3    Kunci dasar pembelajaran contextual teaching and learning
    Pada hakikatnya pembelajaran kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja dan kelas yang bagaimanapun keadaanya. Ada enam kunci dasar pembelajaran kontekstual menurut The Northwest Edzucation Laboratory USA ( dalam dalam Lina Herlina, 2010 : 11 ) yaitu :
1.    Pembelajaran bermakna, pemahaman, relevansi dan penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa di dalam mempelajari isi materi pelajaran. Pembelajaran dirasakan terkait dengan kehidupan nyata atau apabila siswa mengerti manfaat dari materi pelajaran yang terkandung. Apabila siswa merasakan akan arti pentingnya belajar bagi kehidupannya di masa mendatag. Hali ini sejalan dengan prinsip pembelajaran bermakna ( Meaningful learning ).
2.    Penerapan pengetahuan, dimana siswa memahami apa yang dipelajarinya da mampu menerapkannya dalam kehidupannya dan berguna bagi kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang.
3.    Berpikir tingkat tinggi, siswa diwajibkan untuk dapat berpikir kritis dan juga berpikir kreatif dalam mengumpulkan data, pemahaman suatu isu, dan juga pemecahan suatu masalah.
4.    Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar, materi pembelajaran dikaitkan dengan standar lokal, provinsi, nasional, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi juga dunia kerja.
5.    Resposif terhadap budaya, guru haruslah memahami dan mengharai nilai, kepercayaan, dan juga kebiasaan siswa. Karena ragam budaya suatu kelompok serta hubungan antar budaya dapat mempengaruhi pembelajaran dan sekaligus juga berpengaruh terhadap cara mengajar guru.
6.    Penilaiaan autentik, dimana melalui pembelajaran kontekstual siswa diberikan kesempatan untuk ikut berperan aktif dalam menilai pembelajaran mereka sendiri dan penggunaan tiap-tiap penilaiaan untuk memperbaiki keterampilan siswa.

4.4    Perbedaan pembelajaran contextual teaching and learning dengan pembelajaran konvensional
    Pembelajaran kontekstual memiliki perbedaan dengan pembelajaran konvensional, dimana perbedaan yang paling mencolok ialah pada pembelajaran kontekstual pembelajaran lebih dipusatkan siswa ( student centered ) dimana proses pembelajarannya berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa belajar dan juga mengalami. Sedangkan pada pembelajaran konvensional pembelajaran lebih berpusat pada guru ( teacher centered ), dimana siswa lebih banyak menerima informasi abstrak dan teoritis.
    Menurut Depdiknas  ( dalam Akhmad Sudrajat, 2008 ) ada beberapa perbedaan pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional, yaitu :
No.    Pembelajaran Kontekstual    Pembelajaran Konvensional
1.    Siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran.    Siswa hanya ditempatkan sebagai penerima informasi.
2.    Siswa belajar melalui masyarakat belajar melalui kerja kelompok, diskusi dan saling mengoreksi.    Siswa lebih cenderung belajar secara individual.
3.    Pembelajaran dihubungkan dengan kehidupan nyata atau suatu permasalahan.    Pembelajaran cenderung abstrak dan teoritis.
4.    Perilaku siswa dibangun atas kesadara diri.    Perilaku siswa dibangun atas kebiasaan.
5.    Keterampilan siswa dikembangkan atas dasar pemahaman.     Keterampilan siswa dikembangkan atas dasar latihan.
6.    Peserta didik tidak melakukan perbuatan yang jelek sebab menyadari bahwa hal tersebut keliru dan merugikan.    Peserta didik tidak melakukan perbuatan yang jelek karena takut akan hukuman.
7.    Bahasa yang diajarkan dengan pendekatan komunikatif, dimana peserta didik diajak menggunakan bahasa dalam konteks yang nyata.    Bahasa yang diajarkan dengan pendekatan struktural.
Tabel. 5 Perbedaan pembelajaran kontekstual dan pembelajaran konvensional
5.    Pembelajaran Konvensional
    Pembelajaran konvensional sering ditandai dengaan didominasinya pemberian konsep-konsep oleh guru, dimana bertujuan agar siswa mengetahui sesuatu bukan untuk melakukan sesuatu, dimana dalam pembelajarannya siswa lebih banyak mendengarkan. Pembelajarn konvensional ditandai dengan dominasi guru sebagai pentransfer ilmu ( teacher centered ), sementara siswa lebih pasif sebagai penerima ilmu. Ujang Sukandi ( dalam Sunarto, 2009 )
5.1    Keunggulan dan kelemahan pembelajaran konvensional
    Menurut Institute of Computer Technology ( dalam Sunarto, 2009 ) pembelajaran konvensional merpakan pembelajaran yang paling umum diterapkan di sekolah-sekolah di seluruh dunia. Adapun keunggulan dan kelemahan pembelajaran konvensional ialah sebagai berikut :
No.    Keunggulan    Kelemahan
1.    Berbagi informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.    Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan.
2.    Menyampaikan informasi dengan cepat.    Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa yang dipelajari.
3.    Membangkitkan minat akan informasi.    Pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan pemikiran yang kritis.
4.    Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan.    Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa cara belajar siswa itu sama dan tidak bersifat pribadi.









TTabel. 6 Keunggulan dan kelemahan pembelajaran konvensional

6.    Koneksi Matematika
6.1    Definisi koneksi matematika
Menurut National Council Teacher Matematics ( NCTM ) ( dalam Kartika Yulianti, 2008 : 2 ) mengartikan koneksi matematika sebagai hubungan ide-ide matematika. Dalam koneksi matematika ada dua tipe umum menurut NCTM ( dalam Herdian, 2010 : 1 ), yaitu : (1) Modeling connections, merupakan hubungan antara situasi masalah yang muncul di dalam dunia nyata atau dalam displin ilmu lain dengan representasi matematikanya, (2) Mathematical connections, merupakan hubungan antara dua representasi yang equivalen, dan antara proses penyelesaian dari masing-masing representasi.
Berdasarkan uraian di atas koneksi matematika dapat diartikan sebagai keterkaitan antara konsep-konsep matematika seacara internal yang berhubungan dengan matematika itu sendiri ataupun keterkaitan secara eksternal, yaitu matematika dengan bidang ilmu lain ataupun dengan kehidupan sehari-hari.
6.2    Aspek koneksi matematika
Beradasarkan keterangan dari NCTM, dapat diindikasikan bahwa koneksi matematika terbagi dalam tiga aspek kelompok koneksi, yaitu :
1.    Aspek koneksi antar topik matematika, suatu topik dapat diciptakan dari topik yang lain dengan cara mengembangkan lebih lanjut atau menggunakannya pada topik lain.
2.    Aspek koneksi dengan disiplin ilmu lain, topik-topik pada bidang ilmu lain mungkin dapat disusun berdasarkan teori matematika tertentu.
3.    Aspek koneksi dengan dunia nyata siswa/ koneksi dengan kehidupan sehari-hari, koneksi atau keterkaitan matematika dalam kehidupan sehari-hari dapat berbentuk pemecahan masalah sehari-hari dengan mengguunakan matematika.

6.3    Indikator koneksi matematika
Koneksi matematika tidak hanya menghubungkan anatar topik dalam matematika, tetapi juga menghubungkan matematika dengan berbagai ilmu lain dan juga dengan kehidupan.
Ada beberapa indikator koneksi matematika menurut Ulep,dkk ( dalam Kartika Yulianti, 2008 : 2 ), yaitu :
1.    Siswa dapat menyelesaikan masalah dengan menggunakan grafik, hitungan numerik, aljabar, dan representasi verbal.
2.    Menerapkan konsep dan prosedur yang telah diperoleh pada situasi baru.
3.    Menyadari hubungan antar topik dalam matematika.
4.    Memperluas ide – ide matematika.
Selain indikator menurut Ulep tersebut, ada beberapa indikator koneksi matematika menurut Sumarmo ( dalam Herdian, 2010 : 1 ), yaitu :
1.    Siswa mengenali representasi equvalen dari konsep yang sama.
2.    Mengenali hubungan prosedur matematika suatu representasi keprosedur representasi yang equivalen.
3.    Menggunakan dan menilai keterkaitan antar topik matematika dan keterkaitan di luar matematika.
4.    Menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

6.4    Hubungan antara bepikir tingkat tinggi pada pembelajaran contextual teaching and learning dengan koneksi matematika.
    Dalam enam kunci dasar pembelajaran kontekstual menurut The Northwest Edzucation Laboratory USA ( dalam dalam Lina Herlina, 2010 : 11 ), salah satu kunci dasar pembelajarn tersebut ialah siswa diwajibkan untuk dapat berpikir kritis dan juga berpikir kreatif dalam mengumpulkan data, pemahama suatu isu, dan juga pemecahan suatu masalah. Menurut Polya ( dalam Kartika Yulianti, 2008 : 4 ) di dalam langkah-langkah pemecahan masalah didalamnya muncul aspek koneksi.
Adapun langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya adalah sebagai berikut :
1.    Memahami persoalan,
2.    Membuat rencana atau cara menyelesaikan masalah,
3.    Menjalankan rencana,
4.    Memeriksa kembali.
Menurut Polya, aspek koneksi muncul pada langkah pertama yaitu memahami persoalan, dalam mengerti masalah atau permasalahan siswa dituntut untuk menghubungkan data-data yang diketahui, kemudian dihubungkan pula dengan hal yang akan dicari jawabannya. Semua hal tersebut dilakukan dengan menggunakan model pengetahuan yang telah dimiliki. Begitu pula dengan langkah keempat siswa melakukan pengecekan, mencari cara lain untuk menyelesaikan masalah yang sama, dan juga mencari kemungkinan adanya penyelesaian yang lain. Pada langkah keempat ini siswa merefleksikan masalah yang sama, mencari kemungkinan adanya penyelesaian lain, menelusuri proses berpikirnya, meninjau kembali strategi yang dipilih, dan juga menyimpulkan mengapa suatu strategi berhasil sedangkan lainnya tidak, dengan memeriksa kembali inilah siswa dapat menemukan inti atau karakteristik masalah yang telah dipecahkan sehingga dapat menggeneralisasi struktur yang telah dikerjakan agar dapat diterapkan pada masalah lain yang serupa, menyadari mengapa strategi yang telah digunakan menjadi tidak lagi berhasil pada masalah lain atau memerlukan modifikasi terlebih dahulu agar menjadi berhasil. Dalam point keempat ini menurut Polya ada peranan yang penting dalam meningkatkan kemampuan koneksi matematika, yaitu sebagai kegiatan memonitor strategi berpikirnya agar dapat menerapkan konsep dan prosedur yang telah diperoleh pada situasi baru.

7.    Teori dan Type Belajar
7.1    Teori perkembangan kognitif Piaget
    Ada empat tahapan perkembangan kognitif dari setiap individu menurut piaget ( dalam Valmband, 2008)  yang berkembang secara kronologis, empat tahapan itu ialah :
No.    Tahapan    Perkembangan Kognitif
1.    Sensori Motor : 0 – 2 tahun    Pada tahap ini bayi lahir dengan reflex bawaan, skema dimodifikasi dan juga digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa anak-anak ini, anak belum memiliki konsepsi tentang objek yang tepat. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap oleh inderanya.
2.    Pra Operasi : 2 – 7 tahun    Anak mulai timbul peretumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai ( dilihat ) di dalam lingkungannya saja.
3.    Operasi Konkrit : 7 – 11 tahun    Anak telah dapat mengetahui simbol-simbol matematis, tetapi belum dapat menghadapai hal-hal yang abstrak ( tak berwujud ).
4.    Operasi Formal : 11 keatas    Pada tahapan ini, anak-anak sudah mampu memahami bentuk argument dan tidak dibingungkan oleh sifat argument. Tahap ini mengartikan bahwa anak-anak telah memasuki tahap baru dalam logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan penalaran abstrak sistematis operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya sistem nilai dan ideal, serta pemahaman untuk masalah-masalah filosofis.
Tabel. 7 Tahapan perekembangan kognitif menurut Piaget
7.2    Tipe belajar Gagne
Menurut Gagne ( dalam Nasution, 2009 :138 ) komponen-komponen dalam proses belajar dapat digambarkan sebagai “ Stimulus – Respon “, dimana S ialah situasi yang memberi stimulus, dan R adalah respon atas stimulus tersebut. Ada delapan type belajar manusia menurut Gagne yang berkaitan dengan pemberian “ Stimulus dan Respon “, yaitu :
1.    Signal Learning ( belajar isyarat ), merupakan suatu respon dari suatu stimulus atau isyarat untuk mengambil sikap tertentu. Dimana respons yang timbul bersifat umum, kabur, emosional, selain timbulnya dengan tidak sengaja dan tidak dapat dikuasai.
2.    Stimulus- response learning ( belajar stimulus respons ), dengan belajar stimulus-respons ini seorang belajar dari suatu stimulus yang menimbulkan respons yang diperoleh debngan latihan-latihan. Dimana respons yang timbul dapat diatur dan dikuasai, tidak umum dan juga tidak kabur.
3.    Chaining ( rantai atau rangkaian ), dimana dalam perbuatan yang manusia lakukan stimulus dan respons didalamnya terbentuk suatu hubungan. Dimana sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi terjadi (continuity).
4.    Verbal Association ( asosiasi verbal ), dimana apabila manusia dihadapkan pada suatu objek dan dia dapat mengatakannya. Hubungan asosiasi verbal terbentuk apabila unsur-unsur itu terdapat dalam urutan tertentu, yang satu segera mengikuti yang satu lagi ( continuity ).
5.    Discrimination Learning ( belajar diskriminasi ), dimana seseorang dihadapkan pada berbagai objek yang memiliki kesamaan bentuk dan diminta untuk membedakaanya, disinilah terjadinya belajar diskriminasi.
6.    Concept Learning ( belajar konsep ), dengan penguasaan konsep anak dapat menggolongkan sesuatu hal beradsarkan konsep. Untuk mempelajari suatu konsep anak harus mengalami berbagai situasi denga stimulus tertentu. Sehingga anak haruslah dapat mengadakan diskriminasi untuk membedakan apa yang termaksud dan tidak termaksud dalam konserp itu. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.
7.    Rule Learning ( belajar aturan ), tipe belajar ini banyak terdapat dalam pelajaran di sekolah, dimana banyak aturan yang perlu diketahui oleh setiap orang yang terdidik. Aturan ini terdapat dalam tiap mata pelajaran.
8.    Problem Solving ( pemecahan masalah ), memecahkan masalah merupakan sesuatu yang biasa dalam hidup setiap manusia. Memacahkan masalah memerlukan pemikiran dengan menggunakan dan menghubungkan berbagai atura-aturan yang telah dikebal menurut kombinasi yang berlainan. Dalam memecahkan masalah serimg harus dilalui berbagai langkah seperti mengenal setiap unsur dalam masalah itu, mencari aturan-aturan yang berkenaan dengan masalah itu dan juga dalam segala langkah. Untuk memecahkan suatu masalah diperlukanlah waktu ada kalanya sebentar, ada kalanya lama, tergantung pada kompleksitas masalah tersebut.
Menurut Gagne delapan macam jenis belajar tersebut dipandang sebagai bertingkat. Setiap tipe belajar yang di bawah atau rendah merupakan syarat bagi bentuk belajar yang lebih tinggi. Jadi untuk belajar tipe 8 diisyaratkan kemampuan belajar menurut tipe 7, dan selanjutnya untuk belajar tipe 7 harus dikuasai tipe 6, dan seterusnya.

8.    Materi Himpunan
8.1    Pengertian himpunan dan anggota himpunan
8.1.1    Pengertian himpunan
        Himpunan diartikan sebagai suatu suatu koleksi objek-objek yang memberikan suatu sifat bersama.
Contoh :
1.    Dalam matematika, misalnya: himpunan garis, himpunan segitiga, himpunan bilangan real, dsb.
2.    Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya : himpunan pemain sepak bola, himpunan guru-guru yang mengajar di kelas A, dsb.
3.    Dalam bidang ilmu lain, misalnya : himpunan atom, himpunan bena-benda isolator, dsb.
8.1.2    Anggota himpunan
        Anggota himpunan ialah elemen yang tergabung dalam suatu himpunan. Misalnya : Himpunan pemain sepak bola, berarti anggota dari himpunan tersebut ialah pemain sepak bola, sehimgga pelatih sepak bola bukan merupakan anggota himpunan tersebut. Lambang untuk menyatakan anggota ialah   sedangkan bukan anggota diberi lambang   .
8.2    Cara menyatakan himpunan
Ada beberapa cara untuk menyatakan himpunan, yaitu :
1.    Dengan kata-kata, contoh : Himpunan bilangan prima kurang dari 10, himpunan tersebut dapat dituliskan sebagai  berikut :
 
2.    Dengan cara mendaftar, contoh : P = { Himpunan bilangan prima kurang dari 10 }, dapat dituliskan sebagai berikut : P = { 2,3,5, 7 }.
3.    Dengan cara notasi pembentuk himpunan, contoh : : P = { Himpunan bilangan prima kurang dari 10 }, dapat dituliskan sebagai berikut : P = { X : X < 10 , X adalah bilangan prima }.
8.3    Himpunan berhingga dan tak berhingga
Misalkan ada beberapa himpunan sebagai berikut :
1.    P = { m, a, t, e, i, k }
2.    Q = { 1, 3, 7, 5, 9 }
3.    R = { 2, 4, 6, 8,...., 20 }
4.    S = {0, 1, 2, 3, ......}
5.    T = { 5, 10, 15, 20,....}
P, Q, dan R ialah himpunan berhingga, sedangkan S dan T dinamakan himpunan tidak berhingga. Dapat disimpulkan jika banyak anggota suatu himpunan P dilambangkan dengan n(P), maka jika banyaknya anggota itu berhingga, makan n(P) merupakan suatu bilangan cacah dan dapat disebut bilangannya berapapun besarnya. Jika banyaknya anggota itu tidak berhingga, maka banyaknya anggota tersebut tidak dapat disebutkan suatu bilangan, tetapi dilambangkan dengan n(P) =  .
8.4    Diagram Venn
8.4.1    Himpunan semesta
        Himpunan Semesta ( dilambangkan dengan S )  ialah himpunan yang memuat semua anggota himpunan yang sedang dibicarakan. Himpunan semesta disebut juga semesta pembicaraan.
Contoh :
1.    Misalakan kita memiliki P = { 1, 3, 5,7 }
Maka himpunan semesta yang mungkin dari P ialah :
-    S = { 1, 3, 5, 7, 9 }
-    S = Himpunan 10 bilangan asli yang pertama
-    S = { 1,2, 3,..., 100 }
-    S = { 1,3,5,7,..,51}
-    S = Himpunan bilangan asli.

8.4.2    Diagram venn
        Cara untuk menyatakan dan melihat hubungan antara beberapa himpunan, himpunan semestanya digambarkan dalam suatu persegi panjang.
Contoh :
1.    Misalkan diketahui himpunan semesta S = { a, b, c, d, e, f, g } dan A = { b, d, f, g }, maka diagram venn dari himpunan S dan A adalah :



8.4.3    Himpunan bagian dan himpunan kosong
    Misalkan ada himpunan A dan B
-    Himpunan A merupakan himpunan bagian dari B, ditulis A   B jika setiap anggota A juga merupakan anggota B.
-    Himpunan A merupakan bukan himpunan bagian dari B, ditulis A   B jika ada anggota A yang bukan merupakan anggota B.Himpunan dikatakan himpunan kosong apabila tidak ada/ tidak memiliki anggota. Himpunan kosong dilambangkan dengan {} atau  .
Contoh :
1.    Bila ada tiga himpunan, A = { 1, 2, 3, 4 }, B = { 0, 1, 2 } , C = { 1,2,3,4,5,6 ).    Coba selidiki : - Apakah setiap anggota A juga merupakan anggota C ?. – Apakah setiap anggota B juga merupakan anggota C ?
Jawab :
-    Iya, setiap anggota A merupakan anggota C, Jadi A   B.
-    Tidak, sebab ada anggota dari B yang bukan anggota dari C. Jadi B   C.
2.    Misalkan diketahui ada dua himpunan :
A = Himpunan siswa kelas VII SMP di sekolahmu yang tingginya lebih dari 5 m.
B = Himpunan guru disekolahmu yang usianya kurang dari 10 tahun.
Jawab :
    Himpunan tersebut tidak memiliki anggota sebab tidak ada siswa ataupun guru yang memenuhi kriteria tersebut. Sehingga A dan B merupakan himpunan kosong.
8.4.4    Banyaknya himpunan bagian dari suatu himpunan
    Suatu himpunan pasti memiliki himpunan bagian, himpunan kosong memiliki himpunan bagoan yaitu {}. Misalkan ada himpunan A = { 1, 2 } maka himpunan bagian dari A adalah : {1}, {2}, {1,2}, { }. Jadi banyaknya himpunan bagian dari A ialah 22 = 4. Dengan kata lain banyaknya himpunan bagian ialah 2n, dimana n ialah banyaknya anggota suatu himpunan.
8.5    Irisan
8.5.1    Pengertian irisan dua himpunan
    A dan himpunan B adalah himpunan semua anggota A yang menjadi anggota B, yang dilambangkan dengan A   B. 
8.5.2    Menentukan irisan dua himpunan
Untuk menentukan irisan dua himpunan, ada beberapa kemungkinan yaitu :
1.    Jika himpunan yang satu merupakan himpunan bagian dari himpunan yang lain.  Sifat irisan : Jika A   B maka A   B = A
2.    Himpunan sama, dua himpunan dikatakan sama bila elemen-elemennya sama. Kesamaan himpunan : Jika A = B maka A   B = A = B
3.    Himpunan yang tidak saling lepas, irisan dari dua himpunan yang tidak saling lepas ialah himpunan yang memiliki elemen-elemen sekutu.
4.    Himpunan saling lepas, jika kedua himpunan saling lepas maka irisannya ialah himpunan kosong  8.6    Gabungan
8.6.1    Pengertian gabungan dua himpunan
Ada dua himpunan A   B = { x I x   A atau x   B }.
8.6.2    Menentukan gabungan dua himpunan
Untuk menentukan gabungan dua himpunan :
1.    Sifat gabungan : Jika B   A, maka A   B = A
2.    Kesamaan himpunan : Jika A = B, maka  A   B = A = B
3.    Himpunan yang tidak saling lepas, jika dua himpunan yang tidak saling lepas maka gabungannya adalah menggabungkan setiap elemen dari kedua himpunan itu tetapi elemen irisannya hanya dihitung satu kali.
4.    Dua himpunan yang saling lepas, Jika himpunan A dan B saling lepas maka gabungan dari A dan B adalah himpunan yang memuat semua elemen yang ada di A dan B.
5.    Jika gabungan dari dua himpunan dimana himpunan A memuat himpunan B, maka gabungan dari A dan B adalah A sendiri.
8.7    Komplemen dan selisih himpunan
8.7.1    Pengertian komplemen
    Misal terdapat himpunan A dan himpunan semestanya S. Maka komplemen dari A, atau A’ , adalah : A = { x : x   S dan x   A }.
8.7.2    Selisih dua himpunan
Diketahui himpunan A dan B, maka selisihnya adalah :
A – B =  { x : x   A dan x   B }.
A – B =  { x : x   B dan x   A}.
8.7.3    Hubungan himpunan M, komplemen dan semestanya
1.    M   M ‘ = 
2.    M   M’ = S
3.    n(M) +n(M’) = n(S)
9.    Kerangka Berpikir
            Dalam pembelajaran matematika, salah satu hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam mengajarkan suatu pokok bahasan adalah pemilihan model pembelajaran yang sesuai agar tujuan pembelajaran tercapai dan siswa memahami apa yang di pelajarinya serta mampu menghubungkan apa yang dipelajarinya dalam konteks yang nyata. Salah satu model untuk memperkuat koneksi matematika siswa adalah model pembelajaran kooperatif tipe TAI ( Time Assisted Individualization ) berbasis CTL. Model Pembelajaran tersebut ialah gabungan dari model pembelajaraan kooperatif tipe TAI ( Time Assisted Individualization ) dengan pembelajaran kontekstual, dengan penggabungan tersebut diharapkan bahwa  siswa nantinya dapat memiliki kemampuan koneksi matematika, yaitu dapat mengetahui hubungan yang terjadi antara konsep matematika dengan konsep matematika lainnya, dengan bidang ilmu lain, dan kehidupan sehari-hari. Sebab, dengan adanya masyarakat belajar dalam pembelajaran kontekstual siswa yang kurang mampu secara intelektual dapat belajar dengan temannya yang memiliki intelektual yang lebih baik ketika dihadapkan suatu pembelajaran yang dikaiitkan dengan dunia nyata tanpa melupakan penilaian sebenarnya individu tersebut sebagai hasil pencapaian mereka, sehingga nantinya keberhasilan kelompok dijadikan dasar keberhasilan individu tersebut di lihat dalam kemampuan koneksi matematikanya.




                                                               Bagan. 1 Kerangka berpikir penelitian
H. HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah :
“ Terdapat perbedaan kemampuan aspek koneksi matematika siswa SMP yang pembelajarannya dengan pendekatan Kooperatif tipe TAI ( Time Assissted Individualization )  berbasis CTL “.

I.   METODE PENELITIAN
1.    Subjek
    Populasi dalam penelitian ini ialah seluruh siswa kelas VII SMPN 2 Tangerang tahun ajaran 2010/2011 semester 2 yang terdiri dari 9 kelas paralalel. Dari informasi yang didapat dari guru di SMPN 2 Tangerang, distribusi peserta didik perkelas secara merata tidak berdasarkan rangking kelas ataupun nilai masuk tertinggi di sekolah tersebut. Maka peneliti mengambil 2 kelas dari 9 kelas paralel tersebut yang akan dijadikan sampel kelas eksperimen dan juga kontrol, dimana pengambilan sampel tersebut dilakukan dengan teknik purposive sampling. Purposive sampling yang dipakai adalah “ Judgement Sampling “ dikarenakan peneliti menilai sampel yang diambil adalah pihak yang paling baik dijadikan sampel dalam penelitiannya.

2.    Variabel, Desain Penelitian
2.1    Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini ialah :
1.    Variabel Indepeden ( bebas ) yaitu pembelajaran kooperatif tipe TAI ( Time Assissted Individualization ) berbasis CTL.
2.    Variabel dependen ( terikat ) yaitu kemampuan koneksi matematika.
2.2    Desain penelitian
Desain penelitian dari kedua variabel tersebut ialah sebagai berikut :
Kelas    Pre tes    Perlakuan    Post tes
Eksperimen    Y01    X1    Y11
Kontrol    Y02    X2    Y12
Keterangan :
Y01 = ialah hasil tes awal peserta didik sebelum diberikan perlakuan pada kelas eksperimen.
Y02 = ialah hasil tes awal peserta didik sebelum diberikan perlakuan pada kelas kontrol.
X1 = ialah pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI ( Time Assisted Individualization ) berbasis CTL.
X2 = ialah pembelajaran matematika menggunakan model konvensional/biasa.
Y11 = ialah hasil tes prestasi belajar setelah perlakuan diberikan pada kelas eksperimen.
3.    Prosedur
Materi yang dipergunakan dalam penelitian ialah materi pelajaran matematika, bab himpunan untuk SMP kelas VII. Dimana bentuk tes yang digunakan ialah tes bentuk uraian yang terdiri dari 15 soal. Adapun prosedur yang digunkan ialah :
1.    Persiapan, yaitu menentukkan terlebih dahulu tujuan diadakannya tes, merumuskan tujuan Instruksional khusus dari bahan ajar dan terakhir ialah menyusun instrumen.
2.    Uji coba instrumen, instrumen yang telah disusun kemudian diuji cobakan untuk dianalisis tingkat kesukarannya, daya pembeda, realiabilitas, dan juga validitas. Uji coba dilakukan diluar sampel penelitian.
3.    Menganalisis hasil uji coba instrumen,
Untuk mengetahui validitas setiap butir soal atau item maka digunakan rumus :

Keterangan :
X = Skor item
    Y = Skor total
    N = Jumlah subyek
    rXY = Kofesien korelasi antara variabel X dan Y
    Untuk menginterpretasikan tingat validitas tersebut digunakan criteria berikut :
            Antara 0.800 sampai dengan 1.00 = sangat tinggi
            Antara 0.600 sampai dengan 0.800 = tinggi
            Antara 0.400 sampai sengan 0.600 = cukup
            Antara 0.200 sampai dengan 0.400 = rendah
            Antara 0.00 sampai dengan 0.200 = sangat rendah
( Arikunto, 2008: 72 )
Untuk mengetahui tingkat kesukaran soal/instrumen bentuk uraian maka dilakukan uji dengan menggunakan rumus :
mean =
Tingkat Kesukaran ( TK ) = 
Fungsi tingkat kesukaran butir soal biasanya dikaitkan dengan tujuan diadakannya tes, apakah tes yang diadakan untuk keperluan ujian semester digunakanlah butir soal yang memiliki tingkat kesukaran sedang,  untuk keperluan seleksi digunakanlah butir soal yang memiliki tingkat kesukaran yang tinggi dan untuk keperluan diagnostik biasanya digunakan butir soal yang memiliki tingkat kesukaran rendah
Adapun klasifikasi tingkat kesukaran suatu instrumen ialah:
0,00 - 0,30 soal tergolong sukar
0,31 - 0,70 soal tergolong sedang
0,71 - 1,00 soal tergolong mudah  ( Arikunto, 2008:208)
Untuk mengetahui daya pembeda soal/instrumen bentuk uraian maka dilakukan uji dengan menggunakan rumus :
Daya Pembeda (DP) = 
Sebelum menghitung daya pembeda suatu instrumen penilaiaan berbentuk pilihan ganda/. Peserta tes atau kelompok tes yang ada perlu diklasifikasikan antara peserta tes yang memiliki skor total yang baik dengan peserta tes yang memiliki skor total yang kurang baik. Adapun klasifikasi Daya pembeda adalah :
DP : 0,00 – 0,20 : Kurang
DP : 0,20 – 0,40 : Cukup
DP : 0,40 – 0,70 : Baik
DP : 0,70 – 1,00 : Baik sekali
DP : Negatif, semuanya tidak baik, jadi semua butir soal yang memiliki nilai DP negatif sebaiknya dibuang saja.
(Arikunto, 2008:213 ) Untuk mengetahui reabilitas soal/instrumen bentuk uraian maka dilakukan uji dengan menggunakan rumus : dimana :
 = reliabilitas yang dicari
  = jumlah varians skor tiap-tiap item
  = varians total ( Arikunto, 2008:109 )
Indikator pengukuran reliabilitas menurut Sekaran (2000: 312) yang membagi tingkatan reliabilitas dengan kriteria sebagai berikut :
Jika alpha atau r hitung:
1. 0,8-1,0        = Reliabilitas baik
2. 0,6-0,799        = Reliabilitas diterima
3. kurang dari 0,6    = Reliabilitas cukup  baik
Dan metode yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah :
1.  Metode eksperimen
    Metode ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan sebab-akibat dengan cara mengenakan pada kelompok eksperimen dengan model pembelajaran kooperatif tipe TAI ( Time Assisted Individualization ) berbasis CTL dan kelompok kontrol dengan model pembelajaran konvensional pada pembelajaran matematika materi Himpunan kelas VII.
 2.  Metode dokumentasi
        Metode ini digunakan untuk memperoleh keterangan berupa catatan penting yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan diteliti yaitu data nama siswa SMPN 2 Tangerang.
3.Metode Tes
    Metode tes ialah serentetan pertanyaan latihan yang digunakan untuk mengukur kemampuan pengetahuan, intelegensi, dan juga kemampuan yang dimiliki oleh individu atau kelompok ( Suharsimi Arikunto, 2002:127 ), metode tes ini digunakan untuk memperoleh data tentang pencapaian hasil belajar siswa sehingga dapat mengetahui apakah dengan model pembelajaran yang diterapkan mampu memberikan pengaruh terhadap kemampuan koneksi matematika  siswa.
4.    Metode angket
            Angket atau kuisioner ialah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden ( Arikunto, 2002:128 ). Angket digunakan untuk melihat gambaran secara deskriptif mengenai pendapat peserta didik melalui skor jawaban yang dipilihnya. Penggunaan angket sebagai pendukung instrumen untuk mengetahui sikap atau tanggapan peserta didik terhadap model pembelajaran yang diterapkan.
4.    Instrumen
Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
1.    Rencana Pelaksanaan Pembelajaraan ( RPP )
2.    Lembar Kerja Siswa
2.1    Lembar tes pengetahuan penunjang, tes berbentuk uraian sebanyak 10 soal yang diberikan sebelum pembelajaran di mulai, skor dan perangkat tes ini di validasi secara logis.
2.2    Lembar tes kemampuan koneksi matematika, tes kemampuan koneksi matematika digunakan pada pretes dan postest, validasi dilakukan secara logis dan empirik, soal disusun dalam bentuk tes uraian sebanayak 15 soal yang terbagi dalam tiga kelompok.
1.    Soal yang memiliki aspek koneksi dengan topik-topik dalam matematika
2.    Soal yang memiliki aspek koneksi dengan disiplin ilmu lain.
3.    Soal yang memiliki aspek koneksi dengan dunia nyata.
3.    Kisi-Kisi Soal uji coba
4.    Lembar Observasi, observasi yang dilakukan adalah pengamatan berperan serta, dibantu oleh guru SMP yang telah mendapatkan pengetahuan pembelajaran kooperatif tipe TAI berbasi CTL. Lembar observasi divalidasi secara logis.
5.    Angket tanggapan pembelajaran
6.    Skala sikap, Instrumen skala sikap adalah modifikasi likert dengan item pilihan jawaban yaitu SS ( sangat setuju ), S ( setuju ), TS ( tidak setuju ), dan STS ( sangat tidak setuju ). Semua pernyataan skala sikap sebelum perlakuan ( I ) dan sesudah perlakuan ( II ) divalidasi secara logis dan empirik. Sugiyono ( 2008 : 134 )
J. ANALISIS DATA
1. Pengujian tahap awal
    Sebelum sampel diberikan perlakuan maka diperlukannya analisis terlebih dahulu melalui uji normalitas, uji kesamaan dua varians dan uji kesamaan dua rata-rata.
a.    Uji normalitas
Uji normalitas digunakan untuk melihat apakah data yang digunakan tersebut berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan pada dua sampel kelompok yaitu kelompok eksperimen dan juga kontrol. Untuk menghitungnya digunakan rumus chi-square, yaitu :
x2 = 
Keterangan :
x2 = chi-square
        Oi = Frekuensi yang diperoleh dari data penelitian
        Ei = Frekuensi yang diharapkan
        k = Banyaknya kelas interval

Kriteria pengujian bila x2hitung  ≤ x2tabel dengan derajat kebebasan dk = k-3, dan taraf signifikannya ialah 5 % sehingga dapat dikatakan data berdistribusi normal ( Sudjana, 1996: 273 ).

b.    Uji kesamaan dua varians
Uji kesamaan dua varians ini bertujuan untuk mengetahui apakah kelompok yang diberi pembelajaran dengan model kooperatif tipe TAI ( Time Assisted Individualization ) berbasis CTL dengan kelompok konvensional memiliki varians yang sama atau tidak pada tahap awal ini. Rumusnya ialah :
F = 
kriteria pengujian ialah jika Fhit ≥ F1/2(V1-V2), sehingga dapat dikatakan dua kelompok memiliki varians yang sama ( Sudjana, 1995:250).

c.    Uji kesamaan dua rata-rata
Uji kesamaan dua rata-rata ini dipergunakan untuk mengetahui apakah kelompok dengan pembelajaran model kooperatif tipe TAI ( Time Assisted Individualization ) berbasis CTL dan kelompok dengan pembelajaran konvensional mempunyai tara-rata pada tahap yang awal ini. Apabila rata-rata kedua kelompok tersebut sama maka kelompok tersebut memiliki kondisi yang sama. Uji yang digunakan disini ialah uji dua pihak dengan hipotesis sebagai berikut :
HO : 
H1: 
Dimana :
 Rata-rata kelompok kontrol
 Rata-rata kelompok eksperimen

Apabila varians kedua kelompok tersebut sama, maka rumus t yang digunakan ialah :


S =  
( Sudjana, 1996:239 )
Keterangan:
S    = Varians gabungan
  = Varians kelompok 1
  = Varians kelompok 2
   = Rata-rata nilai kelompok 1
   = Rata-rata nilai kelompok 2
   = Banyaknya sampel kelompok 1
   = Banyaknya sampel kelompok 2

Kriteria pengujian diterima atau menerima H0 apa bila t < t1-  dan ditolak apabila memiliki nilai lain-lain. t1-  di dapat dari daftar distribusi t dengan dk =   dan peluang 1-  ( Sudjana, 1996:243 ).
Apabila varians kedua kelompok tersebut tidak sama, maka rumus t yang digunakan ialah :


Kriteria pengujian, hipotesis H0 diterima apabila :
-      < t < 

dengan,


t1 = t(t-1/2 )(n2-1)
t1 = t(t-1/2 )(n2-1)
1.    Pengujian tahap akhir
a.    Uji hipotesis
    Uji kesamaan dua rata-rata bertujuan untuk mengetahui apakah kelompok dengan pembelajaran model kooperatif tipe TAI ( Time Assisted Individualization ) berbasis CTL dan kelompok dengan pembelajaran konvensional mempunyai rata-rata yang sama. Apabila rata-rata kedua kelompok tersebut sama maka kondisi tersebut memiliki kondisi yang sama.  Uji yang digunakan disini ialah uji dua pihak dengan hipotesis sebagai berikut :
HO : 
H1: 
Dimana :
 Rata-rata kelompok kontrol
 Rata-rata kelompok eksperimen

Apabila varians kedua kelompok tersebut sama, maka rumus t yang digunakan ialah :


S =  
( Sudjana, 1996:239 )
Keterangan:
S    = Varians gabungan
  = Varians kelompok 1
  = Varians kelompok 2
   = Rata-rata nilai kelompok 1
   = Rata-rata nilai kelompok 2
   = Banyaknya sampel kelompok 1
   = Banyaknya sampel kelompok 2

Kriteria pengujian diterima atau menerima H0 apa bila t < t1-  dan ditolak apabila memiliki nilai lain-lain. t1-  di dapat dari daftar distribusi t dengan dk =   dan peluang 1-  ( Sudjana, 1996:243 ).
Apabila varians kedua kelompok tersebut tidak sama, maka rumus t yang digunakan ialah :


Kriteria pengujian, hipotesis H0 diterima apabila :
-      < t < 

dengan,


t1 = t(t-1/2 )(n2-1)
t1 = t(t-1/2 )(n2-1)
K. JADWAL PELAKSANAAN
No.    Kegiatan    Bulan 1    Bulan 2    Bulan 3    Bulan 4    Bulan 5    Bulan 6
1.    Menyiapkan instrumen penelitian
                       
2.    Melaksanakan uji coba instrumen                       
3.    Mencari validitas dan reabilitas dari instrumen yang telah di uji
                       
4.    Menganalisis dan merevisi instrumen.
                       
5.     Memberi proses kepada satu  kelompok dengan memberikan pre-test dan post-test.
                       
6.    Melakukan perlakuan kepada kelompok percobaan yaitu pembelajaran matematika melalui kooperatif  tipe TAI berbasis CTL.
                       
7.    Memberikan post-test kepada kelompok percobaan                       
8.    Menganalisis data hasil penelitian. 
                       
K. DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman,M.2003.Pendidikan bagi anak berkesulitan belajar. Jakarta:Rineka cipta
Arikunto,Suharsimi.2008.Dasar-dasar evaluasi pendidikan.Bumi Aksara: Jakarta.
Arini,Yusti.2008.Model Pembelajaran Kooperatif ( Cooperative Learning ) dan Aplikasinya Sebagai Upaya Peningkatan Kulaitas Proses Pembelajaran.
Faiq.2009.Pembelajaran Cooperative
Hamalik,O.2000.Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: Bumi aksara
Hapipah,H.2004.Pengaruh penerapan model belajar kooperatif tipe Team Games Tournaments (TGT) terhadap peningkatan hasil belajar pada pokok bahasan system pencernaan. Skripsi pada jurusan biologi upi bandung : tidak diterbitkan
Ibrahim,M.2000.Pembelajaran kooperatif.Surabaya: University press
Kurniawan, Rudy.2009.Meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa SMK. laporan seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Negri Yogyakarta 24 November 2009.
Kusumaningrum, Retna.2007.Keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe TAI melalui pemanfaatan LKS terhadap hasil belajar matematika Sub pokok bahasan jajargenjang dan belah ketupat pada siswa kelas VII SMPN 11 Semarang tahun pelajaran 2006/2007 (Skripsi)
Nasution.2009.Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar.Bumi Aksara : Jakarta.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika CBSA. Bandung: Tarsito.
Sanjaya,Wina.2008.Strategi PembelajaranBerorientasi Standar Proses Pendidikan .Kencana prenada media group : Jakarta.
Shadiq, Fadjar. 2007. Laporan Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Matematika 15-16 Maret 2007 di P4TK (PPPG) Matematika.
Slameto.2003.belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta:Rineka cipta
Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi matematika pada Guru dan Siswa SMP. Laporan penelitian IKIP Bandung. Bandung: Tidak diterbitkan.
Yulianti, Kartika.Menghubungkan ide-ide matematik melalui pemecahan masalah