Selasa, 15 Mei 2012

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI SISWA TENTANG KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA GURU TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA


Peningkatan mutu pendidikan merupakan tugas yang sangat kompleks, karena mutu pendidikan dapat dijabarkan dalam berbagai segi. Berdasarkan teori analisis sistem, berhasil tidaknya meningkatkan mutu pendidikan, banyak dipengaruhi oleh masukan pendidikan seperti; siswa, sarana dan prasarana pendidikan seperti; gedung, buku teks, alat peraga dan media, kualitas mengajar guru dan pengelola pendidikan atau kepala sekolah, kualitas belajar mengajar, sistem ujian, dan pembiayaan, serta kemampuan pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Pendidikan Nasional untuk menangani berbagai faktor penghambat yang terdapat di lingkungan pendidikan. Namun, tanpa mengabaikan peran dari faktor penting lainnya dan berdasarkan pada berbagai studi penelitian telah ditemukan bahwa  kualitas guru merupakan faktor yang paling dominan dalam menentukan mutu pendidikan. Kualitas guru yang dimaksud adalah tenaga pengajar yang mampu melahirkan lulusan yang bermutu dan
sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan.[1]
            Peran kualitas guru yang dominan dalam menentukan mutu pendidikan, maka pada hakekatnya rendahnya mutu pendidikan nasional tidak terlepas dari rendahnya mutu proses belajar-mengajar yang berlangsung di dalam kelas. Apabila interaksi antara guru dan siswa dapat terjalin dalam suatu kegiatan proses belajar mengajar yang berkualitas, maka dapat diharapkan bahwa hasil pendidikan dengan sendirinya akan berkualitas. Oleh karena itu, harus ada upaya sistematik untuk meningkatkan kualitas dari segi siswa, guru dan perangkat pendukung lainnya. Dari segi guru rendahnya mutu pendidikan berkaitan dengan rendahnya kompetensi professional yang berarti menyangkut kemampuan atau kinerja guru.
Pada dasarnya sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya menjadi tuntutan untuk meningkatkan mutu kemampuan professional guru sebagai tenaga pendidik, pengajar, dan pelatih yakni keahlian, kemahiran dan keterampilan.[2] Kemampuan professioanal guru ini menjadi sangat penting manakala membahas kinerja guru, karena tinggi rendahnya kinerja guru sangat tergantung kepada kemampuan professional yang dimiliki guru. Apabila kemampuan professional guru tinggi, maka kinerja guru pun menjadi tinggi. Sebaliknya apabila kemampuan professional
guru rendah, maka kinerjanya pun menjadi rendah. Oleh karena itu, peningkatan professional guru merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya meningkatkan kinerja guru.
Keluwesan gerak, ritme dan urutan kerja yang sesuai dengan prosedur sehingga diperoleh hasil yang memenuhi syarat kualitas merupakan bentuk kinerja guru yang akan meningkatkan hasil belajar siswa di sekolah.
            Produktivitas suatu lembaga pendidikan amat ditentukan oleh dorongan dasar, pengetahuan dan keterampilan para tenaga kependidikan di sekolah tersebut yang pada gilirannya akan menentukan tingkat prestasi dan kegairahan kerja mereka.[3] Hal ini mengindikasikan bahwa menjadi sangat penting untuk selalu meningkatkan dorongan dasar, pengetahuan dan keterampilan para tenaga kependidikan di sekolah untuk mencapai prestasi dan kegairahan kerja yang tinggi, yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas lembaga pendidikan.
            Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pembelajaran. Sesuai dengan konsep pembelajaran yang berakar pada pihak guru, kualitas pembelajaran dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri guru (faktor intern), maupun yang berasal dari luar guru.[4] Faktor yang perlu diungkapkan dari dalam diri guru antara lain adalah : (a) bagaimana persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah dengan hasil belajar

siswa (b) bagaimana hubungan tentang kinerja guru terhadap hasil belajar siswa (c) bagaimana hubungan antara persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja guru terhadap hasil belajar siswa.
            Mutu pendidikan dapat dilakukan dengan menganalisis efektivitas penyelenggaraan pendidikan dalam berbagai jenjang. Mulai dari efektivitas sekolah, efektivitas kelas sampai efektivitas guru. Ketiga jenjang ini saling terkait dan mempunyai hubungan saling mempengaruhi. Efektivitas penyelenggaraan kegiatan pendidikan akan tergantung pada penyelenggaraan pembelajaran di kelas, dan efektivitas guru dalam melakukan pembelajaran. Guru yang efektif juga terkait dengan penggunaan sumber dan alat yang efektif yang dapat mendorong pada perbaikan pembelajaran. Hal ini juga tidak terlepas dari efektivitas keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Kerangka berpikir teoritik ini digunakan untuk melihat mutu, karena mutu merupakan interaksi antara unsur-unsur tersebut.
            Mutu pendidikan dapat diukur dari kemampuan pengelola dan pelaksanaan pendidikan di sekolah di dalam  mendayagunakan semaksimal mungkin, faktor-faktor sekolah dan faktor luar sekolah yang sesuai, sehingga prestasi belajar siswa maksimal. Pada tingkat sekolah ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama perilaku guru dalam melaksanakan pembelajaran dan hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam sekolah, kualitas yang mencakup kesesuaian antara materi dan pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran. Kedua aspek-aspek organisasi yang mencakup : (1)  Budaya dan iklim sekolah yang mendorong efektivitas penyelenggaraan kegiatan pendidikan. (2) Kebijakan tentang koordinasi dan peningkatan kemampuan professional guru. Ketiga kondisi-kondisi yang diperlukan untuk membuka kesempatan belajar yang dalam hal ini mencakup : (1) rencana sekolah yang mengembangkan materi pelajaran. (2) komitmen terhadap visi misi sekolah. (3) Kesepakatan tentang implementasi kurikulum. Selain itu, mutu pendidikan suatu sekolah mempunyai hubungan dengan suprastruktur, seperti kepemimpinan kepala sekolah dan kemampuan personalnya dalam mewujudkan visi misi pendidikan pada lembaga tersebut.
            Efektivitas pendidikan sekolah sebagian besar tergantung dari perkembangan hubungan baru antara guru dan muridnya, yang menjadi partner yang semakin aktif di dalam proses pendidikan, antara guru dan orang tua murid dan orang lain di dalam masyarakat yang bersangkutan di dalam proses pendidikan.[5] Dengan demikian penataan  kembali fungsi dan peranan guru, buku pelajaran, kurikulum sekolah, dan sumber-sumber lingkungan sekolah adalah inti dari segala upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.   
Berdasarkan uraian di atas, maka pada dasarnya bahwa peningkatan mutu pendidikan yang menggambarkan hasil akan senantiasa berkaitan dengan masalah produktivitas, efesiensi dan efektivitas. Ketiga hal tersebut akan dapat dicapai secara optimal bila didukung oleh prestasi kerja atau kinerja yang baik. Oleh karena itu, menelaah masalah kinerja guru merupakan upaya untuk melihat kualitas suatu pendidikan dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
1. Hasil Belajar Siswa
Hasil belajar siswa identik dengan penilaian atau evaluasi dalam proses belajar-mengajar di sekolah, penilaian atau evaluasi adalah penentuan sampai berapa jauh sesuatu berharga, bermutu atau bernilai.[6]
Proses inilah yang dikenal dengan penilaian atau pemberian nilai. Proses pemberian nilai tergantung pada jumlah skor yang akan diperoleh pada tes, dengan menggunakan beberapa acuan yang ditetapkan, skor yang diperoleh siswa selanjutnya akan berubah menjadi suatu nilai yang dapat dijadikan acuan dalam keputusan, apakah siswa tersebut telah berhasil dalam mencapai kompetensi dasar yang ditetapkan atau tidak berhasil dalam pencapaian kompetensi dasar. Tahapan-tahapan dalam sistem penilaian seyogyanya harus dilalui agar dapat terhindar dari berbagai pengaruh dari hasil seperti, hallo effect berupa kerapihan pekerjaan, gaya bahasa dan sopan santun misalnya, sehingga diharapkan pemberian ini dapat lebih obyektif.
Seorang guru berusaha sekuat tenaga dan pikiran mempersiapkan program pengajarannya dengan baik dan sistematika.[7]
Dalam kurikulum berbasis kompetensi, prestasi siswa ditentukan oleh perbandingan antara pencapaian sebelum dan sesudah pembelajaran serta kriteria penguasaan kompetensi yang ditentukan. Oleh karena itu, dalam penilaian berbasis kelas lebih tepat apabila menggunakan penilaian acuan patokan.
Dalam penilaian acuan patokan ditetapkan berdasarkan tingkat penguasaan minimum. Siswa yang telah melampaui kriteria  dapat dinyatakan lulus atau memenuhi syarat.  Dalam hal ini patokan ditetapkan sejak proses pembelajaran tersebut direncanakan, dengan kata lain penguasaan kompetensi harus ditetapkan kriterianya, oleh karena itu penilaian acuan patokan  pada umumnya digunakan untuk menguji tingkat penguasaan, maka biasanya sejak awal standar penampilan untuk suatu pencapaian kompetensi diberikan secara spesifik. Kompetensi yang diukur itu dapat saja dalam penampilan atau presentasi jawaban yang benar. Walaupun penerapan kompetensi standar tersebut tidak mutlak sifatnya, namun ukuran tersebut merupakan dasar yang penting dalam menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi dasar. Penilaian nilai berdasarkan pedoman penilaian acuan patokan atau standar mutlak berarti ada patokan tertentu yang ditetapkan untuk keperluan konversi mentah menjadi skor standar. Penilaian ini berdasarkan pedoman
penilaian acuan tidak memerlukan statistik, melainkan hanya tingkat penguasaan kompetensi yang minimum. Penentuan nilai berdasarkan pedoman penilaian acuan normatif atau standar relatif berarti prestasi belajar seseorang siswa dibandingkan dengan prestasi siswa lain pada kelas di Sekolah itu. Seorang siswa yang memperoleh nilai baik sekali pada kelompoknya mungkin memperoleh nilai lain bila prestasi siswa tersebut dibandingkan pada kelompok lain.
Penilaian merupakan upaya sistematis yang dikembangkan oleh institusi pendidikan yang ditujukan untuk menjamin tercapainya kualitas proses pendidikan serta kulaitas kemampuan peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.[8]
Penilaian pada dasarnya merupakan suatu rangkaian kegiatan yang tidak boleh terputus, pada tahap perencanaan dan penyusunan naskah soal test harus dilakukan dengan baik, pada fase skoring harus dilakukan dengan teliti, dan pada fase penilaian dilakukan dengan teliti berdasarkan norma yang tepat supaya hasil evaluasi itu memiliki validitas tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada tahap awal melakukan pengangkatan (skoring) kita perlu pedoman skoring, perhitungan skoring mentah, norma baku dan pedoman konversi skor mentah menjadi skor baku. Berdasarkan data yang diperoleh dari konversi skor mentah itulah
guru menilai atau menetapkan nilai yang menunjukkan tingkat serapan siswa terhadap pelajaran yang telah diikutinya.
Skor yang diperoleh seorang siswa sebaiknya ditetapkan secara obyektif. Oleh sebab itu, diperlukan kunci jawaban yang salah berdasarkan pedoman skoring, dan menetapkan angka menggunakan pedoman penilaian yang disiapkan sebelum tes dilakukan. Kunci jawaban sebaiknya ditetapkan lebih dahulu yaitu pada pase penulisan soal tes supaya diketahui secara proposional, asfek kognitif atau kompetensi yang diharapkan dicapai oleh siswa, tingkat kesukaran soal tes, dan pola jawaban bila guru menggunakan tes obyektif, apabila tes bentuk uraian yang digunakan, maka guru perlu menetapkan kunci jawaban dan pedoman penentuan skor mentah secara baik karena dimungkinkan terdapat jawaban yang bervariasi terhadap suatu pertanyaan.
Evaluasi hasil belajar bertujuan untuk mengetahui tercapai tidaknya kompetensi dasar yang telah ditetapkan.[9] Seorang guru perlu memperhatikan bahwa skor siswa tidak dibandingkan dengan jawaban siswa lain, melainkan skor siswa ditetapkan berdasarkan kunci jawaban yang telah disiapkan oleh guru sebelum tes atau sebelum lembar jawaban siswa diperiksa. Sebaiknya dipahami oleh guru bahwa skor mentah adalah angka yang diperoleh setelah dijumlahkan angka yang diperoleh siswa atas dasar jawabannya yang betul berdasarkan kunci jawaban.
Sementara itu nilai yang menunjukkan hasil belajar siswa adalah angka ubahan dari skor mentah sesuai dengan standar pengukuran yang digunakan dalam penilaian hasil belajar. Sebagai ilustrasi andaikan skor maksimum yang dikehendaki 40 dari siswa A memperoleh skor 40, berarti siswa tersebut sudah menguasai 100%. Hal ini bermakna lain bila siswa A memperoleh skor 40 dari skor maksimum yang dikehendaki 100 karena pada kondisi ini siswa A dikatakan menguasai 40%. Kedua contoh sederhana ini memberi gambaran bahwa sebaliknya guru mengubah skor mentah yang diperoleh siswa menjadi skor standar, apakah standar mutlak penilaian acuan patokan atau standar relatif penilaian acuan normalitas atau kombinasi antara kedua norma standar itu.
Evaluasi atau penilaian adalah kegiatan pengumpulan data untuk mengukur sejauh mana tujuan sudah dicapai.[10] Pengertian evaluasi atau penilaian sangatlah beragam, tetapi kita akan menggunakan batasan dari berbagai sumber seperti berikut. Secara umum penilaian dalam konteks pendidikan adalah proses yang digunakan untuk memperoleh informasi dari test, pengamatan langsung tentang perilaku untuk mengetahui perkembangan kemajuan siswa terhadap pencapaian tujuan yang telah ditentukan.
Guru adalah orang yang paling penting statusnya di dalam kegiatan belajar mengajar karena guru memegang peran penting yaitu mengatur dan mengemudikan bahtera kehidupan kelas. Bagaimana suasana kelas
berlangsung merupakan hasil dari kerja guru. Suasana kelas dapat hidup, siswa belajar tekun tetapi tidak merasa terkekang, atau sebaliknya, susunan kelas suram, siswa belajar kurang bersemangat dan diliputi rasa was-was, takut, itu semua akibat dari hasil pemikiran dan upaya guru, selain itu guru didlam kelas selalu mengadakan evaluasi program. Guru dalam melaksanakan evaluasi program dapat orang-orang dari dalam dan dapat pula orang dari luar.[11] Masing-masing jenis evaluator mengandung kelemahan diantaranya : 1) Evaluator dari dalam sangat memahami seluk beluk kegiatan, tetapi ada kemungkinan dapat dipengaruhi oleh keinginan untuk dapat dikatakan bahwa programnya berhasil. Dengan kata lain evaluator dalam dapat diganggu oleh unsur subjektivitas. Jika hal ini terjadi data yang terkumpul kurang benar dan kurang akurat meskipun barangkali cukup lengkap. 2) Evaluator luar mungkin menjumpai kesulitan dalam memperoleh data yang tidak lengkap karena ada hal-hal yang disembunyikan oleh para pelaksana program. Namun karena evaluator tidak berkepentingan akan nama baik program, maka data yang terkumpul dapat lebih objektif.
Dalam kegiatan belajar mengajar dapat dikatagorikan sebagai evaluator dalam. Guru adalah pelaksana sehingga mereka mengetahui betul apa yang terjadi di dalam proses belajar mengajar. Guru berkepentingan atas kualitas pengajaran. Untuk memperbaiki proses pengajaran yang akan dilaksanakan lain waktu, guru perlu mengetahui seberapa tinggi tingkat pencapaian dari tugas yang telah dikerjakan selama kurun waktu tertentu.
2. Persepsi Siswa tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah
Persepsi dapat didefinisikan sebagai proses dengan nama individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka.[12] Indera manusia berupa pendengaran, penglihatan, sentuhan, pengecapan dan perasaan adalah sarana yang membentuk persepsi manusia.
Indera tersebut dalam psikologi dikenal dengan organ sensori (sensory organs) yang memberi masukan kepada otak tentang berbagai informasi yang berasal dari lingkungan dan otak menginterpretasikan informasi ini. Menghubungkan dengan apa yang sedang terjadi dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya.[13] Pengalaman perseptual sebagai operasi sistem tersebut mentransformasikan data yang diterima dari lingkungan, menunjukan betapa pentingnya persepsi dalam kehidupan manusia.
Proses persepsi dimulai dengan adanya rangsangan yang menembus indera sensori penerima manusia dan selanjutnya alat penerima tersebut mengirim pesan rangsangan ke otak dan kemudian  diolah/ditafsirkan yang hasilnya muncul sebagai pemahaman.[14] Proses sensori ini merekam terhadap segala rangsangan yang terdapat di lingkungan sekitar dimana ia berada dan persepsi menerjemahkan pesan-pesan yang diterima oleh alat sensori ini dalam bentuk pemahaman.[15]
Pendapat lain mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menafsirkan informasi dan menafsirkan pesan.[16] Sedangkan proses menafsirkan dan menafsirkan pesan tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu pengaruh internal dan eksternal.[17] Faktor internal berasal dari dalam sendiri, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar diri.
Teori tersebut di atas, maka dapat ditafsirkan bahwa persepsi adalah suatu proses pengorganisasian dan penafsiran kesan-kesan indera atau kognitif yang digunakan untuk memberikan makna/tafsiran untuk memahami lingkungan sekitar individu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi berada pada pihak pelaku persepsi (perceiver), dalam objeknya atau target yang dipersepsikan, atau dalam konteks situasi di mana resepsi itu dilakukan.[18] Faktor pada pemersepsi (perceiver) meliputi sikap, motif, kepentingan pengalaman dan penghargaan. Faktor konteks situasi meliputi waktu,

keadaan/tempat kerja dan keadaan sosial. Sedangkan faktor obyek atau target yang dipersepsikan meliputi hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan.[19]
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi juga dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Indikator yang termasuk dalam faktor internal adalah dorongan  (motivation), pengalaman masa lalu (past experience) dan kecendrungan sementara. Sedangkan faktor eksternal adalah hubungan figure-ground (figure ground relationship), intensitas (intenity), kontras (contrast), kontinuitas (continuity), dan pengelompokan (grouping).[20] Lebih lanjut indikator-indikator tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut ;
a. Pengaruh internal
Pengaruh internal merupakan fungsi proses kognitif seseorang sehingga mampu memunculkan persepsi. Pengaruh internal ini adalah (1) persepsi seringkali dipengaruhi oleh dorongan  yang dimiliki seseorang.
Kebutuhan atau motif yang tidak terpuaskan merangsang individu dan mempunyai pengaruh yang kuat pada persepsi mereka. Selain itu seseorang yang tidak memiliki dorongan  atau tidak terdorong  terhadap rangsangan tertentu, maka akan mengabaikan rangsangan yang datang. (2) kecendrungan sementara untuk merespon cara atau kebiasaan


tertentu. Kecenderungan ini dapat berubah ketika seseorang diharapkan pada perintah (intructions) dan balas jasa (reward) yang berbeda.    
b. Pengaruh eksternal
            Pengaruh eksternal menghasilkan sifat-sifat rangsangan atau kelompok-kelompok rangsangan. Perhatian secara mendalam terhadap pengaruh eksternal ini timbul selama masa-masa awal psikologi Gestalt. Teori ini mulai dikenal sekitar tahun 1910 oleh Wherteimer dan dilanjutkan oleh Kohler serta Kohffka di Universitas Frangfrut. Teori ini menekankan pada arti secara keseluruhan (meaningfull wholes) sehingga dikenal dengan sebutan Gestalten.[21] Persepsi merupakan keseluruhan konfigurasi (gestalt) dari proses pengamatan yang terjadi dalam diri manusia melalui sensoringnya, kemudian perangsang bergabung dengan respon dan diproses oleh kecerdasan sehingga menimbulkan pemahaman atau pengertian terhadap masalah yang tengah dihadapi. Tindakan-tindakan yang termasuk dalam pengaruh eksternal ini adalah: 1) hubungan figure-ground (relationship): 2) kontras (kontrase): 3) kontinuitas (continuity): 4) intensitas (intensity): dan 5) Pengelompokan (grouping).
            Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud persepsi dalam penelitian ini adalah bentuk interpretasi atau pemahaman guru tentang rangsangan, berupa gaya kepemimpinan, kemampuan dalam memimpin, kemampuan kepala sekolah berinteraksi secara komunikatif dengan guru dan tentang peran kepala sekolah dalam menjalankan tugasnya.          
Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa persepsi guru dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi interpretasi dan pemahamannya terhadap kepemimpinan kepala sekolah. Faktor-faktor itu adalah:
a. Faktor internal,  yang meliputi:
1) dorongan, dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu.[22] Apabila guru memiliki dorongan  terhadap kepemimpinan kepala sekolah, maka ia akan mudah untuk memahami dan menginterpretasikannya. Sebaliknya apabila guru tidak memiliki dorongan  tentang adanya rangsangan tertentu, seperti kepemimpinan kepala sekolah, maka cenderung akan mengabaikan rangsangan tersebut.
2) kecenderungan sementara untuk merespon cara atau kebiasaan tertentu. Persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah dipengaruhi oleh kecenderungan guru dalam merespon tugas pemimpin yang diperankan oleh kepala sekolah
b. Faktor eksternal, yang meliputi:
1. Hubungan Figure-Ground, yaitu hubungan antara rangsangan utama dengan suasana yang ada di sekelilingnya secara keseluruhan. Kepemimpinan kepala sekolah sebagai rangsangan utama (figure) hubungan erat dengan lingkungan kerja para guru (ground), sehingga menimbulkan interpretasi dan pemahaman para guru tentang kepemimpinan kepala sekolah.
2. Kontras, yaitu suatu rangsangan yang berbeda secara nyata dari rangsangan-rangsangan lain yang ada di sekelilingnya. Rangsangan ini adalah kepemimpinan kepala sekolah. Guru menginterpretasikan diri pada kepemimpinan kepala sekolah dan bukan pada rangsangan-rangasangan lain seperti kondisi sekolah, lingkungan kerja dan lain-lain.
            3. Kontinuitas, yaitu rangsangan yang tidak pernah berhenti untuk direspon seseorang. Seseorang cenderung untuk melaksanakannya sebagai kombinasi berbagai rangasangan yang terus berlanjut. Secara organisatoris, terdapat saling hubungan komunikatif antara kepala sekolah sebagai pemimpin dan guru sebagai anggota organisasi. Selama proses tersebut, berbagai bentuk rangsangan berupa pemberian tugas, perhatian, ujian dan lain sebagainya akan diterima oleh guru. Dari rangsangan-rangsangan yang terus-menerus ini akan melanjutkan interpretasi dan pemahaman guru, tentang kepemimpinan kepala sekolah.
            4. Intensitas, yaitu semakin besar, (intens) suatu stimulus datang, maka semakin besar pula perhatian yang diberikan seseorang terhadap rangsangan tersebut. Stimulus yang lebih menonjol akan semakin diperhatikan. Hal ini bararti bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang menonjol di antara perilaku yang lainnya. Sejalan dengan itu ada pendapat bahwa bila dua orang atau lebih berkumpul bersama, maka akan terdapat seorang pemimpin di antara mereka yang memainkan peran labih aktif dan yang lebih dominan di antara mereka.[23] Dengan kepemimpinan tersebut akan mampu membuat guru menaruh perhatian terhadap kepala sekolah, sehingga menimbulkan persepsi tentang kepemimpinannya.
            5. Pengelompokan, yaitu penempatan rangsangan yang dapat mempengaruhi perhatian dan pemahaman seseorang terhadap rangsangan tersebut. Hal itu terjadi bila rangsangan muncul dalam ruang dan waktu yang bersamaan (grouping). Rangsangan yang dimaksud adalah kepemimpinan kepala sekolah, yang dalam situasi dan kondisi yang bersamaan ditampilkan secara aplikatif, secara dilibatkan dalam proses komunikasi dengan para guru sehingga melahirkan pemahaman dan interpretasi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah. Hal ini dikarenakan proses komunikasi memerlukan langkah-langkah yang melibatkan pengalihan pesan yang merupakan gagasan atau ide pemimpin (kepala Sekolah) untuk disampaikan kepada para bawahannya (guru) melalui pemahaman dan interpretasi yang dimiliki oleh para bawahannya.[24]
Kepemimpinan merupakan aspek penting dalam mengelola organisasi untuk sekolah. Kepemimpinan merupakan tipe pengaruh yang dimiliki oleh seseorang yang diterapkan dalam situasi tertentu serta dilahirkan melalui proses komunikasi guna mencapai tujuan.[25] Kepemimpinan juga diartikan sebagai proses dimana seseorang melakukan usaha untuk mempengaruhi orang lain.[26] Pendapat senada bahwa kepemimpinan adalah pengaruh seseorang terhadap aktivitas kelompok dan ia dipercayai dibandingkan dengan anggota kelompok lainnya.[27] Dengan demikian esensi dasar dari kepemimpinan adalah ketaatan (Followership) atau keinginan orang untuk mengikuti seseorang lainnya yang dianggap sebagai pemimpin.[28]
            Teori-teori yang dipaparkan di atas, maka dapat ditafsirkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan dan kesiapan yang dimiliki seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakan, mengarahkan, dan bila perlu memaksa orang atau kelompok menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
            Berkenaan dengan uraian di atas, sejumlah peneliti kepemimpinan mengasumsikan bahwa kemampuan memimpin dan ketaatan kepada pemimpin lebih banyak didasarkan pada gaya kepemimpinan yang ditunjukan oleh pemimpin itu sendiri.[29]
Perilaku dan gaya kepemimpinan ini perlu dijelaskan untuk memahami hakikat kepemimpinan itu sendiri, dimana penelitian ini akan mengulas tentang kepemimpinan kepala sekolah. Dengan mengetahui perilaku dan gaya kepemimpinan kepala sekolah akan dapat diuraikan tentang hakikat kepemimpinan kepala sekolah.
            Pada dasarnya para pemimpin menerapkan tiga dasar gaya kepemimpinan yaitu: 1) otokrasi, 2) demokratis, dan 3) free rein. Lebih lanjut gaya kepemimpinan untuk dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Otokrasi, yaitu pemimpin yang memngganggap dirinya sebagai satu-satunya pemberi perintah dan mengharuskan orang lain mematuhinya secara dogmatis. Gaya ini diimbangi dengan kemampuannya untuk tidak memberi atau memberi penghargaan dan hukuman (lihat diagram 1.1 gambar A).
  2. Demokratis, disebut juga partisipatif, yaitu pemimpin yang merundingkan setiap tindakan dan keputusan dengan para bawahannya serta mendorong para bawahannya untuk berpartisipasi dalam melaksanakan tugas guna mencapai tujuan yang ditetapkan (lihat diagram 1.1 Gambar B).
  3. Free rein, yaitu pemimpin yang sangat tergantung kepada bawahannya untuk menyusun tujuan dan mendorong anggota dalam mencapai tujuan tersebut. Bawahan diberi kebebasan untuk bertindak dengan cara menyediakan informasi dan tindakan yang diaggap penting saat mereka berhubungan dengan lingkungan kelompok eksternal (lihat diagram 1.1 gambar C).[30]

Diagram 1.1
Berbagai Gaya Kepemimpinan








Pemimpin Demokratis
 

Pemimpin Free Rein
 

 
        





Bawahan                       Bawahan        Bawahan

 

 


Sumber : Harorld Koontz, Cyril O’Donnell, and Heinz Weihrich,
     Management (New York : Mcgraw-Hill Book Company, 1984), h.
     509.
Kepemimpinan adalah kemampuan dan kesiapan yang dimiliki seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakan, mengarahkan, dan bila perlu memaksa orang atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Dilihat dari definisi tersebut, maka kepemimpinan kepala sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam organisasi sekolah. Hal ini membawa konsekuensi bahwa kepala sekolah harus mengefektifkan kepemimpinannya guna mempengaruhi guru untuk berusaha keras menampilkan kinerja yang terbaik dalam rangka mencapai tujuan sekolah. Guru bersedia menggunakan kemampuan dan professionalisasi dalam bekerja untuk mencapai kinerja yang diharapkan, sehingga dengan kesadaran dan loyalitas yang tinggi didapatkan kualitas pendidikan yang dicita-citakan.
Berdasarkan pada berbagai teori dan uraian di muka, maka hakikat persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam meneliti ini adalah bentuk pemahaman atau interpretasi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam mempengaruhi para guru agar bekerja secara efektif dan efisien untuk mencapai kinerja yang diharapkan.
Berdasarkan kajian teori di atas, maka dapat dirumuskan indikator persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah, sebagai berikut: interperetasi atau pemahaman siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah, meliputi pendapat siswa tentang kepemimpinan, kemampuan diri dalam memimpin, kemampuan berkomunikasi dengan guru, serta peran kepala sekolah sebagai seorang pemimpin.
3. Hakikat Kinerja Guru
            Teori expectancy dikemukakan bahwa kinerja adalah hasil interaksi antara dorongan  dengan ability (kemampuan dasar) atau dirumuskan sebagai performance = f (ability X dorongan ).[31] Implikasi dari teori tersebut menunjukkan bahwa orang yang sebenarnya memiliki kemampuan dasar tinggi tetapi rendah dorongan nya akan menghasilkan kinerja yang rendah. Begitu pula halnya dengan orang yang tinggi dorongan nya tetapi memiliki kemampuan dasar rendah, maka kinerjanya rendah pula. Bila demikian, maka di samping kemampuan dasar, secara partial dorongan  dapat merupakan salah satu unsur dari suatu kinerja, konsep penting di atas adalah bahwa untuk mengungkap dan mengukur kinerja guru dapat dilakukan dengan menelaah kemampuan dasar guru atau pelaksanaan kompetensi dasar guru.
            Istilah kinerja sebagai terjemahan dari kata performance, yang dapat diartikan sebagai kemampuan yang menunjukkan kesungguhan melaksanakan pekerjaan.[32] Sehingga menunjukkan hasil yang baik. Kesungguhan melaksanakan pekerjaan menunjukkan kemampuan yang dimiliki seseorang dan menunjukkan kinerja. Kinerja juga diartikan sebagai luaran kerja yang dapat diukur. Kinerja adalah bagian dari kemampuan unjuk kerja, karena unjuk kerja merupakan perbandingan luaran kerja dan perilaku kerja.[33] Dengan demikian kinerja merupakan perwujudan dari kemampuan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan yang dapat diukur dari hasil kerja yang dicapai. Penilaian terhadap kinerja guru akan berkaitan dengan masalah utama mengenai evaluasi kegiatan mengajar itu sendiri, dan perilaku mengajar digunakan sebagai dasar untuk menilai suatu kinerja.[34] Hal ini berarti untuk melihat kinerja guru dapat dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap perilaku guru dalam melakasanakan proses belajar-mengajar. Sedangkan proses belajar-mengajar menurut kemampuan guru mulai dari perencanaan program belajar-mengajar sampai pada evaluasi program belajar-mengajar.
            Kinerja juga bermakna sebagai ukuran dari suatu hasil kerja.[35] Hal ini berarti menunjukkan pada kualitas kerja yang ditampilkan seseorang yang dapat diketahui tinggi rendah atau baik buruknya. Dengan demikian kinerja menunjuk pada mutu kerja seseorang sebagai cermin dari kemampuannya. Sementara itu Bernandin & Russel sebagaimana dikutip oleh Akhmad S Ruky mengemukakan  Performance is defined as the record of outcomes produced on a specifies job function or activity during a specified time period”.[36] Kinerja merupakan catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Hal ini berarti kinerja dapat diukur melalui catatan dari hasil pekerjaan dalam kurun waktu tertentu.
            Dari berbagai pendapat tersebut dapat ditafsirkan bahwa kinerja adalah hasil kerja seseorang atau kemampuan kerja seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.
Kinerja guru dalam penelitian ini difokuskan dalam kajian manajemen sistem pembelajaran. Hal ini berarti membahas aktivitas guru dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang di dalamnya terdapat siswa sebagai bahan (material), sumber belajar, dan lingkungan belajar, mulai dari perencanaan program belajar-mengajar, pelakasanaan program belajar-mengajar, sampai pada evaluasi program belajar-mengajar, sehingga terjadi proses pembelajaran yang efektif dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian, kinerja guru dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menunjukan kemampuan seorang guru dalam menjalankan adanya suatu perbuatan yang ditampilkan guru dalam melakukan aktivitas mengajar di sekolah.
Supaya memiliki kinerja yang baik, seorang guru harus memahami fungsi dan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu, seorang guru harus memilki bekal atau pengetahuan yang luas tentang profesinya sehingga tahu betul tugas yang mesti dilakukannya, sehingga guru dapat membedakan dan mengerti pada prioritas pekerjaan yang harus dan tidak harus dilaksanakan. Untuk mencapai kinerja yang baik diperlukan target-target penguasaan keterampilan dan kemampuan-kemampuan tertentu bagi jabatan guru, seperti menguasai kompetensi dasar guru. Oleh karena itu, dari aspek personal diperlukan adanya kesadaran dan tanggungjawab yang mendalam untuk menciptakan suatu kinerja yang baik, sebab dapat dikatakan bahwa kinerja berkaitan dengan kesadaran pegawai terhadap pekerjaan mereka.[37] Sementara kesadaran pegawai terhadap pekerjaan mereka sangat dipengaruhi oleh dorongan pegawai tersebut dan tingkat kepuasan kerjanya. Dorongan dan tingkat kepuasan kerja ini sangat berhubungan dengan gaya kepemimpinan dari pemimpin organisasi.
Kinerja guru yang baik akan menghasilkan prestasi belajar siswa yang baik pula. Selanjutnya kinerja yang baik terlihat dari hasil yang diperoleh dari penilaian hasil belajar siswa.[38] Hal ini berarti bahwa dalam proses belajar-mengajar kinerja guru berkaitan erat dengan hasil belajar siswa. Selanjutnya beberapa indikator kinerja guru nampak dalam hal hasil belajar siswa, kepuasan siswa dan orang tua, perilaku sosial dan kehadiran guru.[39] Jadi, jelaslah bahwa menilai dan memahami kinerja guru tidak terlepas dari siswa sebagai subyek didik dan tingkat prestasi belajar yang dicapai siswa menggambarkan kinerja guru sebagai perencanaan dan pengelola pengajaran atau administrator kelas.
            Berdasarkan uraian di muka, maka dapat ditafsirkan bahwa kinerja guru pada hakikatnya adalah kemampuan guru yang diwujudkan dalam kerja yang baik di dalam melakasanakan tugas baik sebagi pengajar pembimbing dan administrator lelas.
Tugas utama seorang guru adalah merencanakan, mengelola, menilai proses belajar-mengajar yang di dalamnya terdapat berbagai kegiatan memilih, menilai, dan mengambil keputusan professional.[40] Sedikitnya ada lima aspek pembuatan keputusan di dalam lingkungan pengajaran yang dilakukan seorang guru. Pertama, guru membuat keputusan untuk mencapai tujuan akademis, sosial dan perilaku. Umpamanya guru membuat keputusan monitoring perilaku siswa ketika kerja kelompok. Kedua, guru membuat keputusan dalam interaksi lingkungan kompleks dengan siswa dalam berbagai cara. Umpamanya memonitor dan merespon perilaku siswa. Guru yang efektif memiliki tingkat kemampuan menyadari apa yang terjadi di dalam kelas dan mengkomunikasikannya pada siswa melalui tindakan. Ketiga, guru perlu mempertimbangkan berbagai persepektif ketika membuat keputusan. Penafsiran guru terhadap situasi berbeda dengan siswa. Guru yang bersifat reflektif harus menggunakan pengalaman, pengetahuan tentang pengajaran efektif, intuisi dan wawasan untuk memahami bagaimana peristiwa yang terjadi dalam kelas mempengaruhi belajar. Keempat, guru harus membuat penyesuaian rencana dengan perubahan dan kondisi di dalam kelas. Kelima, guru harus membuat keputusan rencana pembelajaran, memodifikasi pembelajaran, memperkuat pembelajaran agar sesuai harapan. Sebagai administrator atau manajer, seorang guru memiliki tugas untuk a) merencanakan, b) mengorganisasikan, c) memimpin, dan d) mengawasi.[41] Dengan demikian sesungguhnya tugas seorang guru cukup berat, karena aktivitas yang harus dilakukannya memerlukan sikap, perilaku, keterampilan, konteks dan konsekuensi tertentu yang dilakukan secara professional, efektif dan efisien.
            Proses belajar-mengajar guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing dan memberi fasilitas belajar bagi murid-murid untuk mencapai tujuan.[42] Guru mempunyai tanggungjawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu perkembangan anak. Penyampaian materi pelajaran hanyalah merupakan salah satu dari berbagai kegiatan dalam belajar sebagai suatu proses yang dinamis dalam segala fase dan proses perkembangan anak, secara lebih rinci tugas guru berpusat pada: (1) Mendidik anak dengan titik berat memberikan arah dan dorongan, pencapaian tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang. (2) Memberi fasilitas pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar yang memadai. (3) Membantu perkembangan aspek-aspek pribadi seperti sikap, nilai-nilai dan penyesuaian diri.[43]
Dalam proses belajar-mengajar peran dan fungsi guru tidak terbatas sebagai penyampai ilmu pengetahuan, akan tetapi lebih dari itu, ia bertanggungjawab akan keseluruhan perkembangan kepribadian murid. Ia harus mampu menciptakan proses belajar yang sedemikian rupa, sehingga dapat merangsang murid untuk belajar secara aktif dan dinamis dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan.
Kompetensi guru telah pula dikembangkan oleh proyek pembinaan pendidikan guru (P3G) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada dasarnya kompetensi guru menurut P3G bertolak dari analisis tugas-tugas seorang guru, baik sebagai pengajar, pembimbing, maupun sebagai administrator kelas. Kesepuluh kompetensi guru menurut P3G, yaitu: 1) menguasai bahan, 2) mengelola program belajar-mengajar, 3) mengelola kelas, 4) menggunakan media/sumber belajar, 5) menguasai landasan kependidikan, 6) mengelola interaksi belajar-mengajar, 7) menilai prestasi belajar, 8) mengenal fungsi dan layanan bimbingan penyuluhan, 9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, dan 10) memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna keperluan pengajaran.[44]
Delapan dari sepuluh kompetensi yang disebutkan di atas lebih diarahkan kepada kompetensi guru sebagai pengajar. Dapat dianalisis pula bahwa kesepuluh kompetensi tersebut hanya mencakup dua bidang kompetensi sikap, khususnya sikap professional guru tidak tampak.
Kompetensi menunjuk kepada perfomance dari perbuatan yang rasional di dalam pelaksanaan tugas-tugas.[45] Ini berarti, dari segi kompetensi, kinerja guru mengacu pada perilaku guru ketika mengajar di kelas. Dengan demikian maka jelaslah bahwa kinerja guru akan sangat terkait dengan akativitas dan pola kerja guru dalam mengajar di kelas yang berarti juga melihat keterampilannya dalam mengelola proses belajar-mengajar. Pada dasarnya kompetensi perilaku sebagai kemampuan guru dalam berbagai keterampilan/berperilaku, seperti keterampilan menyusun perencanaan/persiapan mengajar, keterampilan mengajar, membimbing, menilai, keterampilan menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul dan berkomunikasi dengan siswa; keterampilan menumbuhkan semangat belajar para siswa.[46] Istilah keterampilan (skill) menunjuk kepada kemampuan dari seseorang untuk melakukan berbagai jenis kegiatan kognitif atau keperilakuan (behavioral) dengan suatu cara yang efektif.[47]
Keterampilan dapat dibedakan dalam dua macam, yakni psikomotor dan intelektual, dan hampir setiap keterampilan terdiri dari kedua unsur tersebut. Hanya saja bobotnya yang berbeda, ada yang lebih menonjol aspek intelektualnya atau sebaliknya lebih menonjol aspek psikomotornya. Dalam interaksi belajar-mengajar keterampilan belajar dibagi dalam tiga klasifikasi, yaitu yang berkaitan dengan aspek materi, kesiapan dan keterampilan operasional.[48]
Ada empat aspek kompetensi yang harus dikembangkan guru, yaitu: 1) kompetensi pedagogik, 2) kompetensi pribadi, 3) kompetensi profesi, dan 4) kompetensi kemasyarakatan.[49] Kompetensi pedagogik, seorang guru harus mampu menyampaikan materi sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Kompetensi pribadi, seorang guru harus meiliki sikap kepribadian yang mantap, sehingga mampu berfungsi sebagai sumber identifikasi bagi siswa, dan dapat menjadi penuntun bagi siswa dan masyarakatnya. Kompetensi profesi, bahwa setiap guru perlu memiliki pengetahuan yang luas dan tentang materi yang harus diajarkan serta menguasai metodologi pengajaran yang meliputi konsep teori dan praktis. Kompetensi kemasyarakatan/sosial, yaitu bahwa seorang guru hendaknya mampu membangun komunikasi yang efektif dengan lingkungan sekitarnya termasuk dengan para siswa, teman sejawat, atasan, pegawai sekolah, dan masyarakat luas. Kompetensi profesi berkaitan erat dengan kemampuan edukatif dan administratif guru, sedangkan kompetensi kepribadian dan kemasyarakatan dianggap sebagai kompetensi umum yang wajib dimiliki oleh setiap guru. Dengan demikian berarti seorang guru di samping senantiasa dituntut untuk mengembangkan pribadi dan profesinya secara terus-menerus, juga dituntut mampu dan siap berperan secara professional dalam lingkungan sekolah dan masyarakat.
Kompetensi profesi guru itu sendiri dapat digolongkan menjadi: 1) kompetensi pengetahuan (knowledge competencies), yang menekankan aspek pengetahuan guru; 2) kompetensi penampilan perbuatan (performance competencies), yang menekankan aspek perilaku/kinerja guru yang dapat diamati; dan 3) kompetensi akibat (consequence competencies) yang menekankan pada aspek hasil belajar siswa yang merupakan akibat dari kompetensi pengetahuan dan penampilan guru.[50]
Berdasarkan uraian di muka, maka konsep kinerja guru sebagai cara kerja yang menyangkut kemampuan melaksanakan tugas mengajar dapat dilihat dari indikator: 1) kemampuan merencanakan program belajar mengajar, 2) kemampuan melaksanakan/mengelola proses pembelajaran dan 3) kemampuan manilai proses belajar-mengajar. Ketiga hal tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari kompetensi guru. Kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki seseorang dalam melaksanakan tugasnya. Pengetahuan dan keterampilan itu dapat diperoleh melalui pendidikan atau latihan.
1). Merencanakan Program Belajar-Mengajar
            Agar proses belajar-mengajar berlangsung dengan baik dan mencapai hasil yang diharapkan, maka harus direncanakan sedemikian rupa dalam bentuk perencanaan mengajar. Setiap perencanaan selalu berkenaan dengan perkiraan mengenai apa yang akan dilakukan. Demikian halnya dalam perencanaan mengajar memperkirakan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan pada waktu melaksanakan pengajaran. Isi perencanaan pengajaran mengatur dan menetapkan unsur-unsur/komponen pengajaran seperti tujuan, bahan atau isi, metode dan alat, serta evaluasi/penilaian.
            Kemampuan merencanakan program belajar-mengajar bagi profesi guru sama dengan kemampuan mendesain bangunan bagi seorang arsitek. Ia tidak hanya membuat gambar yang baik dan memiliki nilai estetis, tetapi juga harus mengetahui makna dan tujuan dari desain yang dibuatnya. Demikianlah halnya guru dalam membuat rencana atau program belajar-mengajar. Seorang guru harus mengetahui arti dan tujuan perencanaan tersebut, dan menguasai secara teoritis dan praktis unsur-unsur yang terdapat dalam perencanaan belajar-mengajar. Kemampuan merencanakan program belajar-mengajar merupakan muara dari segala pengetahuan teori, keterampilan dasar, dan pemahaman yang mendalam tentang obyek belajar dan situasi pengajaran.
            Makna atau arti program belajar-mengajar tidak lain adalah suatu proyeksi guru mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa selama pembelajaran berlangsung. Dalam kegiatan tersebut secara terperinci harus jelas ke mana siswa itu akan dibawa (tujuan), apa yang harus ia pelajari (isi bahan pengajaran), bagaimana cara ia mempelajarinya (metode dan teknik), dan bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapainya (penilaian).[51]
            Unsur-unsur utama yang harus ada dalam setiap perencanaan pengajaran yaitu: a) tujuan yang hendak dicapai, yaitu bentuk-bentuk tingakah laku apa yang diinginkan untuk memiliki siswa setelah terjadinya proses belajar-mengajar, b) bahan pelajaran atau isi pelajaran yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan, dan d) penilaian yakni bagaimana menciptakan dan menggunakan alat untuk mengetahui apakah tujuan itu tercapai atau tidak.[52]
Kegiatan merencanakan program belajar-mengajar menurut pola prosedur pengembangan sistem intruksional (PPSI) meliputi: 1) merumuskan tujuan intruksional, 2) menguraikan deskripsi satuan bahasan, 3) merancang kegiatan belajar-mengajar, 4) memilih berbagai media dan sumber belajar, 5) menyusun instrumen untuk menilai penguasaan tujuan.[53] Kemampuan merencanakan program belajar-mengajar mencakup kemampuan: 1) merencanakan pengorganisasian bahan pengajaran, 2) merencanakan pengelolaan kegiatan belajar-mengajar, 3) merencanakan pengelolaan kelas, 4) merencanakan penggunaan media dan sumber pengajaran, dan 5) merencanakan penilaian prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran.[54]
            Sebelum guru melaksanakan kegiatan belajar-mengajar diharapkan membuat perencanaan belajar-mengajar yang meliputi program tahunan, dan Rencana Persiapan pembelajaran (RPP). Terdapat delapan kegiatan dalam menyusun persiapan mengajar yaitu: 1) menentukan tujuan intruksional umum, 2) menentukan tujuan intruksional khusus; 3) mambuat analisis tentang karakteristik siswa, 4) menentukan materi/bahan pelajaran yang sesuai dengan RPP, 5) menetapkan tes awal (pre-test); 6) menentukan strategi belajar-mengajar yang sesuai meliputi pendahuluan, kegiatan inti dan penutup, 7) mengkoordinasikan sarana penunjang yang diperlukan meliputi biaya, fasilitas, peralatan, waktu, dan tenaga, dan 8) melakukan evaluasi.[55]
            Berdasarkan uraian di atas, maka kinerja guru dari dimensi merencanakan program belajar-mengajar dalam penelitian ini terdiri atas tiga indikator, yakni kemampuan: 1) merencanakan pengorganisasian bahan pelajaran, 2) merencanakan pengelolaan kegiatan belajar-mengajar, dan 3) merencanakan penggunaan media dan sumber pengajaran. Dari ketiga indikator tersebut akan dijabarkan dalam beberapa aspek pengukuran yang lebih bersifat operasional.
2). Melaksanakan Proses Belajar-Mengajar
Melaksanakan atau mengelola kegiatan belajar-mengajar merupakan tahap pelaksanaan program yang telah dibuat. Dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar kemampuan yang dituntut adalah keaktifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai dengan rencana yang telah disusun dalam perencanaan. Guru harus dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat, apakah kegiatan belajar-mengajar dihentikan, ataukah diubah metodenya, apakah mengulang dulu yang lalu, manakala siswa belum dapat mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Pada tahap ini, di samping pengetahuan-pengetahuan teori tentang belajar-mengajar, tentang siswa, diperlukan pula kemahiran dan keterampilan teknis mengajar. Misalnya, prinsip-prinsip mengajar, penggunaan alat bantu pengajaran, penggunaan metode mengajar, keterampilan menilai hasil belajar siswa, keterampilan memilih dan menggunakan strategi atau pendekatan mengajar.
            Pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar pada dasarnya merupakan implementasi dari perencanaan kegiatan belajar-mengajar (RPP) yang telah dibuat. Semua yang telah ditetapkan dalam perencanaan kegiatan belajar-mengajar, diwujudkan secara nyata melalui keterampilan mengajar. Keterampilan dasar mengajar mencakup keterampilan: 1) memulai dan mengakhiri pelajaran, 2) menjelaskan, 3) bertanya, 4) memberi penguatan, 5) mengadakan variasi, 6) membimbing diskusi kelompok, dan 7) mengelola kelas.[56]
Persyaratan kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan proses belajar-mengajar meliputi kemampuan: 1) menggunakan metode mengajar, media pelajaran dan bahan latihan yang sesuai dengan tujuan pengajaran, 2) berkomunikasi dengan siswa, 3) mendemonstrasikan berbagai metode mengajar, 4) mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran dan perlengkapan pengajaran, dan 5) melaksanakan evaluasi pencapaian siswa dalam proses belajar-mengajar.[57]
            Pendapat serupa tentang kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh guru dalam melaksanakan program belajar-mengajar mencakup kemampuan sebagai berikut: 1) mendorong  siswa belajar dari saat membuka sampai menutup pelajaran, 2) mengarahkan tujuan pengajaran, 3) menyajikan bahan pelajaran dengan metode yang relevan dengan tujuan pengajaran, 4) melakukan pemantapan belajar (reinforcement), 5) menggunakan alat-alat bantu pengajaran dengan baik, 6) memperbaiki program belajar-mengajar untuk keperluan mendatang, 7)


melaksanakan layanan bimbingan penyuluhan, dan 8) melaksanakan penilaian hasil belajar.[58]
Pelaksanaan proses belajar-mengajar menyangkut pengelolaan pembelajaran dalam menyampaikan materi atau isi pesan pembelajaran harus dilakukan secara terencana dan sistematik; tujuan pengajaran dapat
dikuasai oleh siswa secara efektif dan efisien. Kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar nampak dalam mengidentifikasikan karakteristik dan kemampuan awal  siswa, kemudian mendiagnosis, menilai dan merespon setiap perubahan perilaku siswa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mengajar merupakan suatu kegiatan dimana berlangsung hubungan antar manusia, bertujuan membantu perkembangan dan menolong keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Pada dasarnya kegiatan belajar adalah menciptakan lingkungan dan suasana yang dapat menimbulkan perubahan struktur kognitif  para siswa.[59]
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditafsirkan bahwa kinerja guru dari dimensi melaksanakan peroses belajar-mengajar mencakup indikator kemampuan;  1. membuka dan menyampaikan tujuan pengajaran 2. menyampaikan/mengelola materi, 3. menggunakan metode dan bahan latihan sesuai dengan rencana, 4. mengorganisasi waktu, dan 5. mendorong keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Dari kelima indikator tersebut akan dijabarkan dalam beberapa aspek pengukuran yang lebih bersifat operasional.
3). Menilai Kemajuan Proses Belajar-Mengajar
Setiap guru harus melakukan penilaian tentang kemajuan yang telah di capai oleh siswa, baik secara iluminatif-observatif maupun secara struktural-obyektif. Penilaian secara iluminatif-observatif dilakukan dengan pengamatan yang terus-menerus tentang perubahan dan kemajuan yang dicapai oleh siswa. Penilaian secara obyektif-obyektif berhubungan dengan pemberian skor, angka, atau nilai yang biasa dilakukan yang dilakukan dalam rangka penilaian hasil belajar siswa.
Perencanaan kegiatan belajar-mengajar yang telah dibuat diwujudkan secara nyata, perlu dilakukan penilaian/evaluasi. Penilaian diartikan sebagai proses yang menentukan baik atau tidaknya program/kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[60] Penilaian juga berarti proses pengumpulan informasi dan penggunaan informasi untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan.[61]
Tujuan utama melakukan evaluasi dalam proses belajar-mengajar adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa, sehingga dapat dilanjutkan tingkat lanjutnya, dengan demikian kinerja guru dari dimensi menilai kemajuan proses belajar-mengajar mencakup kemampuan indikator: 1) evaluasi presentasi siswa, dan 2) pemanfaatan hasil evaluasi. Dari kedua indikator tersebut dapat dijabarkan dalam beberapa aspek pengukuran yang lebih bersifat operasional.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulakan bahwa kinerja guru yang diwujudkan dalam cara kerja yang baik di dalam melaksanakan tugas sebagai pengajar, pembimbing dan administrator kelas yang terdiri dari indikator (1) kemampuan merencanakan program belajar-mengajar, (2) kemampuan melaksanakan/mengelola proses belajar-mengajar, dan (3) kemampuan menilai proses belajar-mengajar.

B. Penelitian yang relevan.
            Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sujono menafsirkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah dengan pengelolaan proses belajar-
mengajar.[62] Sedangkan penelitian tentang hubungan antara variabel persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah dengan hasil belajar siswa masih perlu digali lagi, untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang positif antara persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah dengan hasi belajar siswa.
Permasalahan guru yang berkenaan dengan hasil belajar siswa dapat dilihat pada hal-hal yang berkenaan dengan masalah kepuasan kerja, sebagaimana yang dikemukakan Robbin menurutnya ada tiga faktor yang menentukan kepuasan kerja, yaitu: 1) kerja yang secara mental menentang. Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai betapa baik mereka bekerja. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan. 2) ganjaran yang pantas. Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil yang didasarkan pada tuntunan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan akan dihasilkan kepuasan. Dan 3) kondisi kerja yang mendukung. Karyawan peduli akan lingkungan kerja, baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik.[63] Tiga dimensi di atas secara implisit menunjukkan kondisi yang memungkinkan terwujudnya hasil yang baik. Dengan terciptanya kondisi yang diindikasikan pada tiga dimensi tersebut, maka hasil karyawan (dalam hal ini guru) dapat terwujud dengan baik.
            Variabel dorongan kerja dengan hasil memiliki hubungan yang positif. Kondisi ini dijelaskan dalam teori harapan (ekspektasi) dari Viktor Vroom sebagaimana dikutip Robbin.
Teori pengharapan berargumentasi bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu, bergantung pada kekuatan dari sesuatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu tersebut; atau dengan kata lain seorang karyawan didorong  untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia meyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian hasil yang baik; suatu penilaian yang baik akan mendorong ganjaran-ganjaran organisasional seperti bonus, kenaikan gaji, atau promosi, dan ganjaran itu akan memuaskan tujuan pribadi karyawan itu. Teori tersebut memfokuskan pada tiga hubungan yaitu: 1). Hubungan upaya hasil. Probabilitas yang dipersepsikan oleh individu yang mengeluarkan sejumlah upaya tertentu itu akan mendorong hasil. 2). Hubungan hasil ganjaran. Derajat sejauh mana individu itu meyakini bahwa berhasil pada suatu tingkat tertentu akan mendorong tercapainya suatu keluaran yang diinginkan.  3). Hubungan ganjaran - tujuan pribadi.
Derajat sejauh mana ganjaran-ganjaran organisasional memenuhi tujuan atau kebutuhan pribadi seseorang individu dan potensi daya tarik ganjaran tersebut untuk individu tersebut.[64]

C. Hasil Penelitian Sebelumnya yang Relevan
            Hasil penelitian ini mengungkapkan Hubungan Persepsi Siswa Tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kinerja Guru Terhadap hasil Belajar Siswa SMPN 2 Kaduhejo Kabupaten Pandeglang. Telah banyak penelitian yang dilakukan dan memiliki relevansi dengan penelitaian di atas atau setidaknya mempunyai kaitan dengan substansi permasalahan baik sebagian atau atau seluruh hasil penelitian. Hasil penelitian tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Usman (1994) dalam tesisnya yang berjudul “ Kepemimpinan Kepla SMA Negeri di Biereun Aceh utara” anatara lain mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi prilaku kepemimpinan kepala sekolah dalam pengelolaan sekolah meliputi faktor penghambat dan penunjang. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa prilaku kepemimpinan kepala sekolah itu masih dominan menempatkan ciri keteladanan sebagai hal yang penting untuk memperoleh pengakuan atau kepatuhan para bawahan. Keadaan seperti ini diduga ada kaitannya dengan budaya yang berkembang pada masyarakat. Berdasarkan hal itu disarankan agar kepala sekolah melakukan berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan mengelola sekolah, mengikuti penataran, mengembangkan kegiatan dari setiap pendekatan yang dilakukan, memberikan motivasi dalam bentuk imbalan bagi bawahan yang dapat menyelesaikan tugas dengan baik, mengembangkan prilaku inisiatif dan kreatif, mengembangkan hubungan kerjasama yang multi arah serta menerapkan nilai-nilai kebersamaan yang saling menghormati.
  1. Inu Maja (1999) dalam tesisnya yang berjudul “Efektivitas Kepemimapinan Kepala Sekolah Dasar dalam Pengelolaan Hubungan Sekolah dengan Masyarakat untuk Menunjang Produktivitas Sekolah” antara lain mengemukakan bahwa keberhasilan sekolahy dalam melaksanakan peran dan fungsinya mempengaruhi kinerja dan produktivitas sekolah ada yang sudah efektif dan ada yang belum efektif, perlu adanya upaya untuk menjadikan efektif dengan meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam memimpin dengan berbagai cara yang mungkin baik individu maupun kelompiok. Selanjutnya disarankan kepada pihak terkait untuk mempersiapkan kemampuan manjerial kepala sekolah yang dibekali dengan fungsi perencanaan, pelaksanaa, dan pengawasan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan efektif dan efisien.

D. Kerangka Berfikir Penelitian.
1. Hubungan antara persepsi siswa tentang kepala sekolah terhadap
    hasil belajar siswa.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa yang dimaksud dengan persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah adalah

interpretasi dan pemahaman siswa tentang kegiatan kepala sekolah sebagai pemimpin yang dipengaruhi oleh faktor internal yang meliputi dorongan (motivation) dan kecenderungan sementara, serta faktor eksternal berupa hubungan figure-ground (figure-ground relationship), kontras (kontrase), kontinuitas (ontinuity), intensitas (intensity), dan pengelompokan (grouping).
            Faktor-faktor yang membentuk persepsi tentang kepemimpinan kepala sekolah itu baik, maka akan menghasilkan peningkatan hasil belajar siswa yang tinggi atau sebaliknya jika faktor-faktor yang membentuk persepsi tentang kepemimpinan kepala sekolah itu tidak baik, maka akan menyebabkan hasil belajar siswa rendah. Dengan demikian dapat diduga adanya hubungan positif antara persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah terhadap hasil belajar siswa. Atau dapat dikatakan makin baik persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja guru, makin baik hasil belajar siswa di sekolah. Sebaliknya  tidak baik persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja guru, maka makin rendah hasil belajar siswa di sekolah.
2. Hubungan antara kinerja guru terhadap hasil belajar siswa
            Hasil belajar siswa di sekolah pada dasarnya adalah hasil kemampuan guru yang diwujudkan dalam cara kerja yang baik di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya baik sebagai pengajar, pembimbing, dan administrator kelas.
           
Dalam meningkatkan hasil belajar siswa di sekolah membutuhkan dorongan dalam bentuk terpenuhinya kebutuhan dan keinginan siswa seperti keingginan siswa untuk berafiliasi dengan temannya di sekolah, keinginan untuk mendapatkan status tingkatan sosial tertentu dalam kelasnya, keinginan untuk mendapatkan pengahargaan dari pendidik atau guru, kinginan untuk  mengaktualisasikan diri, keinginan untuk bekerja keras dalam membuat pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru dan kemampuan bekerjasama dengan teman sekelasnya.
            Dalam kenyataannya terlihat gejala bahwa jika faktor kebutuhan yang mendorong timbulnya kinerja guru meningkat, maka akan meningkatkan hasil belajar siswa di sekolah, atau sebaliknya apabila faktor kebutuhan yang mendorong timbulnya kinerja lemah maka akan menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan antara pemenuhan kebutuhan sebagai pendorong timbulnya kinerja terhadap hasil belajar siswa. Dengan demikian dapat diduga ada hubungan positif antara kinerja terhadap hasil belajar siswa, dengan kata lain makin tinggi kinerja guru, maka makin tinggi pula hasil belajar siswa. Demikian pula sebaliknya makin rendah kinerja guru maka makin rendah pula hasil belajar siswa di sekolah.
3. Hubungan antara persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala
    sekolah dan kinerja guru terhadap hasil belajar siswa
            Persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah adalah interpretasi dan pemahaman siswa tentang kegiatan kepala sekolah sebagai pemimpin dalam usaha mempengaruhi agar para siswa secara sukarela mentaati dan melaksanakan peratuaran yang telah digariskan. Interpretasi tersebut berpengaruh terhadap hasil belajar siswa di dalam lingkungan pendidikan.
            Persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah berpengaruh terhadap hasil belajar siswa di sekolah meliputi tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah, pendapat siswa tentang kemampuan kepala sekolah dalam memimpin, pendapat siswa tentang kemampuan kepala sekolah dalam berkomunikasi dengan guru, siswa dan pendapat gsiswa tentang peran kepala sekolah sebagai seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas.
            Dalam kenyataannya terlihat gejala bahwa jika interpretasi dan pemahaman siswa tentang kepala sekolah tersebut baik, maka akan meningkatkan kinerja guru dan hasil belajar siswa, dengan demikian semakin baik persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah, maka akan semakin tinggi pula kinerja guru, dan akan meningkatkan hasil belajar siswa di sekolah. Sebaliknya, bila persepsi siswa tidak baik tentang kepemimpinan kepala sekolah, maka semakin rendah pula kinerja guru, dan makin rendah hasil belajar siswa di sekolah.
            Di samping itu kinerja guru merupakan hasil dari akumulasi berbagai faktor, diantaranya faktor dorongan yang menjadi motor penggerak untuk melaksanakan tugas. Dengan kata lain, siswa akan memiliki hasil yang baik di sekolahnya, bila  kinerja guru yang tinggi guna memenuhi kebutuhannya.
            Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diduga terdapat hubungan positif antara persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja guru secara bersamaan dengan hasil belajar siswa. Dengan perkataan lain bahwa makin baik persepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja guru secara bersama-sama, maka akan makin tinggi hasil belajar siswa di sekolah. Sebaliknya makin tidak baik pesepsi siswa tentang kepemimpinan kepala sekolah dan makin lemah kinerja guru secara bersama-sama, maka akan makin rendah pula hasil belajar siswa.