Senin, 11 Juni 2012

Yang Terbaik Untuk Kita

           Seseorang menemukan kepompong seekor kupu-kupu. Suatu hari lubang kecil muncul. Dia duduk mengamati dalam beberapa jam calon kupu-kupu itu ketika dia berjuang dengan memaksa dirinya melewati lubang kecil itu. Kemudian kupu-kupu itu berhenti membuat kemajuan. Kelihatannya dia telah berusaha semampunya dan dia tidak bisa lebih jauh lagi. Akhirnya orang tersebut memutuskan untuk membantunya. Dia mengambil sebuah gunting dan memotong sisa kekangan dari kepompong itu.

            Kupu-kupu tersebut keluar dengan mudahnya. Namun, dia mempunyai tubuh gembung dan kecil, sayap-sayap mengkerut. Orang tersebut terus mengamatinya karena dia berharap bahwa, pada suatu saat, sayap-sayap itu akan mekar dan melebar sehingga mampu menopang tubuhnya, yang mungkin akan berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Semuanya tak pernah terjadi.

            Kenyataannya, kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya merangkak di sekitarnya dengan tubuh gembung dan sayap-sayap mengkerut. Dia tidak pernah bisa terbang. Yang tidak dimengerti dari kebaikan dan ketergesaan orang tersebut adalah bahwa kepompong yang menghambat dan perjuangan yang dibutuhkan kupu-kupu untuk melewati lubang kecil adalah jalan untuk memaksa cairan dari tubuh kupu-kupu itu ke dalam sayap-sayapnya sedemikian sehingga dia akan siap terbang begitu dia memperoleh kebebasan dari kepompong tersebut.

            Kadang-kadang perjuangan adalah suatu yang kita perlukan dalam hidup kita. Jika Tuhan membiarkan kita hidup tanpa hambatan perjuangan, itu mungkin justru akan melumpuhkan kita. Kita mungkin tidak sekuat yang semestinya yang dibutuhkan untuk menopang cita-cita dan harapan yang kita mintakan. Kita mungkin tidak akan pernah dapat "Terbang"

            Sesungguhnya Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kita memohon kekuatan, dan Tuhan memberi kita kesulitan-kesulitan untuk membuat kita tegar. Kita memohon kebijakan, dan Tuhan memberi kita berbagai persoalan hidup untuk diselesaikan agar kita bertambah bijaksana. Kita memohon kemakmuran, dan Tuhan memberi kita otak dan tenaga untuk dipergunakan sepenuhnya dalam mencapaii kemakmuran.
Kita memohon keteguhan hati, dan Tuhan memberi bencana dan bahaya untuk diatasi. Kita memohon cinta, dan Tuhan memberi kita orang-orang bermasalah untuk diselamatkan dan dicintai. Kita memohon kemurahan dan kebaikan hati, dan Tuhan memberi kita kesempatan-kesempatan yang silih berganti.

            Begitulah cara Tuhan membimbing kita. Kadang Ia tidak memberikan yang kita minta, tapi dengan pasti memberikan yang terbaik untuk kita. Kebanyakan kita tidak mengerti atau mengenal, bahkan tidak mau menerima rencana-Nya, padahal justru itulah yang terbaik untuk kita.

            Tetaplah berjuang, berusaha, dan tawakal. Jika itu yang terbaik maka pasti Tuhan akan memberikannya untuk kita.


By. ade firmansyah

Jumat, 01 Juni 2012

Pudarnya Standar Etika Seorang Guru


Tugas seorang guru ternyata bukanlah sekedar  sebagai media transper wawasan pengetahuan (knowledge) semata kepada siswanya. Ada tugas penting diatas  itu, bahkan lebih penting dari sekedar berdiri di depan kelas mengisi  kepala siswanya, dan tugas inilah yang sebenarnya  kerap diabaikan secara tidak sadar.  
Tentunya tugas yang kita maksud tidak lebih bagaimana seorang guru mampu  menjaga etika, sikap dan perilakunya selama melakukan proses belajar mengajar dan diluar itu. Inilah beban moralnya ketika soal moralitas dirinya harus diperlihara dihadapan siapa saja.
Sesungguhnya ada empat  aspek yang harus bisa dicontoh siswa dari  gurunya, pertama, aspek perilaku dan etika, dalam hal ini tatakrama dan sopan santun. Cara berbicara, menyuruh siswa, cara menghargai serta cara mendidik.  Kedua, aspek  wawasan pengetahuan yang justeru sekarang dianggap sebagai tugas utama seorang guru dengan mengenyampingkan tugas-tugas  lainnya. Ketiga aspek  motivasi diri yang muncul dari diri seorang guru, yang pada gilirannya  bakal  memacu motivasi anak-anaknya untuk selalu semangat dalam belajar dan semangat dalam menjalani kehidupan; guru tak lebih seorang motivator dan trainer pengembangan diri terapan.   Dan keempat, adalah aspek, nilai-nilai kejujuran dan kebenaran yang harus disandangnya sebelum  siswa menerapkan sendiri dalam kehidupan mereka.
            Etika dan perilaku guru, menjadi sorotan sebab, kegagalan anak didik dalam mengemban perilaku terpuji dan beretika di bangku sekolah gagal total lantaran orang yang pertama mengajari mereka bukanlah seorang guru yang baik dan sopan pula.  Kemudian diikuti oleh aspek motivasi dan nilai-nilai kejujuran yang tidak dimiliki oleh guru yang juga membuat siswanya seolah sedang tidak memiliki masa depan yang cerah. Sebaliknya,yang dimiliki siswa, dari gurunya adalah  aspek pengetahuan  belaka dengan masa depan yang hampa dan gelap.
            Bila kita berkunjung ke sekolah-sekolah dan duduk di ruangan majelis guru , nyaris kita tidak akan menemukan  standar etika dan perilaku guru-guru itu sebagaimana yang kita harapkan.  Yang didapati sebagian sibuk mengerumpi, tertawa terbaha-bahak.Marah-marah terhadap  rekan kerja. Tidak mau tahu dan tidak mau ambil peduli. Berkata kasar dan kurang sopan. Parahnya tabiat ini pun dipindahkan ke dalam kelas manakala ia mengajari siswanya.   Ia menjadi diktator yang tidak terikat oleh perilaku dan nilai-nilai kebaikan. Dibelakang atau diluar kelas, anak –didiknya sudah pasti akan berbuat serupa pula.
            Seorang guru, mesti punya standar etika baik  ketika berada di dalam kelas atau dilingkungan sekolah. Sebab, guru, yang harus ditiru itu bukanlah sekedar mendapatkan pengetahan darinya, juga  satu saat siswanya akan meniru tabiat dan perilakunya sebagai sebuah contoh yang sama.
Ini pula yang menjadi sisi  kelemahan guru-guru sekarang yang menafikan standar etika guru. Menganggap itu tidaklah penting. Ia berkata sesukanya, bertingkah semaunya, seolah itu bukanlah sesuatu bentuk media pengajaran kepada siswanya. Pepatah lama  yang mengatakan, guru kencing berdiri murid kencing berlari merupakan bentuk pelajaran perilaku yang telah terbukti kebenarannya sampai sekarang.
Tidaklah heran bila  kita melihat, guru-guru yang kurang lapang hatinya, tidak ikhlas mengajar, tidak penyayang dan tidak pula penyabar akan membentuk generasi yang lebih jelek perilaku nya daripada perilaku   guru masa itu.  Bila guru hari ini begitu mudah mengeluh sudah tentu  keluhan anak didiknya lebih keras daripada itu. Memang yang dikeluhan para guru  itu adalah soal materi (gaji)   yang selalu diumpat-umpatkan, kepada kepala sekolah dan kepada pemerintah (termasuk kepada kepala daerah), anak didiknya tentu membuat keluhan yang macam-macam, karena gurunya saja  juga mengeluh.  Dari sini, sebuah sekolah tidak   akan bisa melahirkan siswa-siswa pemimpi yang punya cita-cita tinggi, sebaliknya memproduksi siswa yang  terbelakang motivasi diri dan mental mereka, lantaran sekolah itu dihuni  oleh guru-guru pengeluh.  
 Potret guru kita bukanlah tipikal motivator  pula  yang menegakkan kemauan siswanya.  Guru kita tidak pernah mendorong siswanya untuk berbuat lebih baik dalam perilaku, kesantunan dan kesopanan.  Perilaku guru kita memang sudah terbelah kepada perilaku guru yang mengedepankan sisi egoisme diri. Kasarnya selalu berbicara gaji dan sarana prasarana.
Seharusnya para guru sekarang, harus belajar kepada semangat  Ibu muslimah, seorang guru yang mengabdi di Pelosok Desa, di Belitung,  yang mengorbitkan mimpi muridnya di SD Muhammadiyah Belitung yang dikemudian hari menjadi orang besar,sebagaimana model pendidikan dan penagajarannya dapat kita saksikan di novel Laskar pelangi, karya Andera Hirata.
Sebenarnya  seorang guru sejati itu, harus memiliki  empat aspek diatas secara sempurna. Untuk mendapatkan empat hal diatas, harus berpijak dari  keinginan dirinya sendiri   mengabdi menjadi seorang pendidik adalah berangkat dari  hati sanubari terdalam yang kemudian melahirkan niat keikhlasan untuk mengajar.   Dari sinilah, akan mengalirkan motivasi dan mimpi-mimpi yang akan disambungkannya kepada anak muridnya.
Seorang guru sejati yang memiliki motivasi tinggi pasti tidak pernah mengeluh. Dengan segala kondisi dan suasana ia akan belajar mencintai dan  memiliki rasa sayang yang tinggi pula kepada anak didiknya. Mengajari mereka tentang keutamaan kesantunan sebelum mengisi  pengetahuan. Senantiasa menjaga diri dari perilaku-perilaku buruk karena kalau itu dilakukan, boleh jadi akan menjadi pembenaran bagi siswanya untuk kemudian ditiru pula.  Guru sejati, selalu mewarnai hidupnya dengan kata-kata spirit motivasi dimana pun berada. Menunjukkan tindakan terpuji, membantu siapa saja, tida pelit dan tidak kikir. Dan menakjubkan selama dua puluh empat jam adalah hari-hari dimana ia berperan bak air keran yang selalu menawarkan budi kepada siapa saja dengan tidak kenal lelah.
Sayang guru sejati itu kini telah hilang, seiring biasnya standar etika dan perilaku guru yang ditelan nafsu materialistik. Dan pekerjaan guru tidak lebih sebagai buruh pendidikan yang tidak harus terikat dengan sederatan aturan dan norma kebaikan. Guru pun, sekali lagi tak obah seperti buruh. Kering dari keihklasan pengabdian, bekerja diukur dari pendapatan, status profesi terikat dengan jam mengajar dan defenisi guru pun berubah, bukan sebagai tenaga pendidik, melainkan tenaga pengajar, yang bertumpu diatas pengetahuan. Ketahuilah mendidik tidak sama mengajar, tetapi dalam mendidik ada pengajaran dan tidaklah selama mengajar itu ada unsur mendidik.  Mendidik adalah , memandu dari perilaku diri untuk bersama-sama ditiru, tentu ada muatan etika dan perilaku, sedangkan mengajar hanya mentransferkan pengetahuan semata tanpa ada kaitannya dengan perilaku dirinya apalagi diri siswanya.  
Oleh ade firmansyah.